Sunday, September 28, 2008

TIDUR

TIDUR
Rambutku kini sudah sebahu, aku tak peduli mau seberapa panjang rambutku, tapi ibuku peduli. Dengan sedikit bentakan akhirnya aku berangkat ke tukang cukur, tukang cukur langganan ayahku. Tukang cukur yang dulu sering kudatangi bersama ayah sewaktu berumur 5 tahun dan tak pernah kudatangi lagi sampai saat ini.
Aku terkejut ketika tiba disana. Bertahun-tahun tak datang tampilan luarnya tetap sama, tapi pencukur yang sedang bertugas di dalam telah beruban semua dan para pelanggan setia yang sedang menunggu mendapat giliran ubannya lebih banyak lagi. Semua orang menoleh kepadaku ketika aku masuk dan menggoyangkan bel yang terpasang dipintu, tampak kecewa ketika yang masuk seorang anak muda urakan.
Sebenarnya aku ingin langsung pergi ketika melihat keadaan didalam tapi senyuman seorang tukang cukur yang paling tua mengingatkanku pada masa kecilku, senyuman yang sama seperti dulu ketika aku masuk kesana digendong oleh ayahku. Memaksaku untuk mendudukan pantatku di kursi plastik di pojok ruangan mencoba menjaga jarak sejauh mungkin dengan orang-orang penuh masa lalu. Sebuah kemunduran pikirku, dulu kursi tunggu disini adalah sofa tua yang telah jebol di beberapa bagian tapi masih sangat nyaman untuk diduduki, tampaknya sofa tersebut tak kuasa melawan waktu.
Setelah menunggu dengan bosan selama setengah jam, mendengarkan orang-orang tua mengobrol saling menanyakan kabar si ini dan si itu yang anehnya semua orang tua disitu mengenal semua kenalan orang tua lainnya, sesempit itukah dunia jaman dulu kala? Akhirnya tiba giliranku untuk mendapat servis.
Hanya lima menit sejak duduk di kursi panas tersebut dengan rambut diotak-atik aku langsung tertidur. Aku punya kebiasaan parah dengan cepat sekali tertidur. Semua itu tidak dilakukan dengan tak sengaja, tapi aku memang selalu merencanakan untuk tidur begitu ada kesempatan.
Keterkejutanku bertambah ketika cukuran selesai, potongan rambutku kini sangat modis, untuk ukuran tahun 80-an. Rambutku tampak seperti batok kelapa, dengan bagian bawah tercukur pendek tipis mengelilingi kepalaku dan bagian atasnya masih cukup panjang untuk dapat disisir dengan rapih. Aku menyesal memilih untuk tertidur saat dicukur oleh opa-opa.
Satu lagi yang membuat ku terkejut adalah beliau masih ingat padaku. “ kemana aja dek? dah lama banget ngak kesini. Mana si bapak? ” tanyanya sambil mnerima uangku. Dia bilang dulu aku masih TK dan tak pernah segondrong ini, sekarang sudah kuliah dan gondrong parah. Tapi ada satu persamaan dulu dan sekarang, cepat tidur kalau dicukur katanya sambil tertawa diikuti tawa para pencukur veteran lain lalu tawa seluruh pelanggan tua yang ada disana. Sial, aku hanya bisa tersenyum cengengesan sambil sesegera mungkin beranjak dari tempat nostalgia tersebut.

Satu lagi tempat tidur favoritku adalah bis. Sependek apapun jarak yang ditempuh, jika perjalanan tersebut menggunakan bis maka aku akan tertidur dengan cepat. Aku semakin sering tertidur dalam bis karena kampusku berada di luar kota, sangat jauh dari rumahku yang ada di pusat kota dan angkutan termurah menuju kesana adalah bis kota.
Pagi-pagi udara terlalu dingin dan aku selalu merasa kurang tidur semalam membuatku benar-benar menikmati jam tidur dalam bis. Siang-siang lalu lintas selalu macet, panas dapat diatasi dengan naik bus AC walau tiketnya dua kali lipat. Tidur adalah jalan terbaik untuk lepas dari kewajiban moral berdiri jika ada ibu-ibu tua atau ibu hamil atau ibu menggendong anaknya atau semua orang tua yang berdiri sedangkan anak muda yang masih kuat duduk. Apalagi di tengah hari selalu banyak penumpang kategori tersebut yang naik bis kota. Sore-sore udara sungguh nikmat, angin sepoi-sepoi kadang gerimis ditambah kelelahan sehabis kuliah atau rapat organisasi tidur dikala itu adalah kenikmatan perjalanan.
Ada satu hal yang bisa membuatku kuat melek dalam bis. Pulang bersama gadis Medan anak jurusan psikologi yang itu. Bersamanya aku kuat mengobrol dari naik hingga turun nanti, saat-saat bersamanya sangat mubadzir jika dibuang untuk tidur. Ketika ia tak kuat menahan kantuk lalu tertidur, aku tetap terjaga menyediakan bahuku sebagai bantal baginya. Saking gembira dan tegangnya juga menjiwai peran sebagai bantal aku rela melepas jam tidurku.
Kini aku tak punya lagi jam tidur di bis menuju kampus, sejak bapakku membelikanku sepeda motor. Sepeda motor bekas, yang kata orang bekas tabrakan, aku tak peduli. Motor tersebut tetap kuat mengantarkanku ke kampus, pulang pergi bersama gadis Medan.

Jam-jam kuliah adalah waktu lain untuk teridur. Mendengarkan dosen berpidato selama 4 sks sungguh memuakan, lebih baik mengambil tempak duduk di bawah AC lalu pergi kesana.
Tak semua mata kuliah bisa kutiduri. Beberapa dosen mengusir dengan cara yang memalukan jika kau tertidur di kelasnya. Saat-saat itu aku akan melek tanpa mengantuk sedikitpun. Jika tak kuasa melawan, mengarang sebuah prosa, puisi, atau meneruskan proyek novel adalah pilihan alternatif.
Kuliah adalah saat yang berat, waktu-waktu itu sangat tidak enak untuk tidur. Tanggung jawab moral kepada orang tua yang susah payah mengirimku kuliah membuatku menyisihkan waktu tidur untuk serius belajar di kelas. Belajar bagiku hanya mungkin dilakukan di kelas, di luar itu sangat sulit terlalu banyak gangguan dan godaan.

Saat favorit untuk tertidur adalah hari Jum’at pukul 12 siang. Dalam seminggu hanya di hari itu aku dapat tidur siang. Mendengarkan khotib memberi nasihat dan petuah tentang ketaqwaan membuat mataku cepat menutup. Sambil duduk bersila di pojok ruangan, di bawah kipas angin benar-benar sebuah kenikmatan.
Tidurku saat sholat Jum’at masih lebih baik daripada teman-temanku. Mereka datang bersama denganku, lalu pergi ke halaman masjid, makan-makan, merokok, mengobrol dan mengambil wudhu saat iqomah dengan panik dan berebut lapak untuk sholat. Berbeda denganku, datang segera ambil wudhu, masuk masjid dan pergi kepojokan dengan cepat, ketakutan singgasanaku diambil orang lain.
Beberapa teman mengomentariku sok alim, tak tahu mereka apa yang sebenarnya kulakukan ketika masuk masjid dengan segera. Aku tak peduli apapun komentar mereka, yang penting adalah selalu manfaatkan waktu-waktu terjepit untuk tidur. Aku tak pernah memanfaatkan waktu senggang untuk tidur, bagiku itu mubadzir. Waktu kosongku kebanyakan diisi dengan menulis, membaca, berdiskusi, dan membuat keributan, membuat masalah.
Aku seorang penulis, jurnalis dan pembuat keributan. Hampir tak mempunyai waktu kosong.

belum selesai. . . .

No comments: