Sunday, September 28, 2008

Memoir Kayla

Memoir Kayla
Akhir-akhir ini suasana kota semakin memburuk, di akhir pekan kota memang penuh sesak oleh para pelancong dari luar kota yang secara langsung menambah pendapatan kota ini. Tapi, hal itu membuat kemacetan yang luar biasa dari hari Jum’at sampai Minggu malam. Buruknya tata lalu lintas kota yang merupakan warisan jaman kompeni gagal menanggulangi meledaknya kendaraan yang lalu lalang setiap akhir pekan.
Minggu sore ini menjadi puncak segalanya, ketika klub sepak bola kebanggaan warga kota kalah dari musuh bebuyutannya. Ribuan supporter yang kalap karena papan skor tidak sesuai harapan membanjiri jalanan yang sudah macet total. Seakan belum puas merusak stadion kebanggaan yang memang telah rusak, mereka bermaksud mempermak wajah jalanan juga.
Di sisi lain jalan ribuan polisi SSK pun telah siap berjuang dengan pentungan, gas air mata dan water cannon, mencoba memadamkan api dengan api. Perang terbuka di depan mata. Belasan mobil, kaca-kaca bangunan, rambu lalu lintas, pot-pot besar pinggir jalan menjadi korban. Paramedis di palang merah kota pun menjadi sibuk menambal puluhan kepala suporter dan korban tak berdosa yang bocor, tidak sedikit pula yang harus pulang dengan tangan dibebat atau tubuh penuh perban dan obat merah.
Tapi bagi Kayla hal itu justru menjadi tantangan. Sang calon dokter yang juga suporter setia itu dengan semangat mencoba mengobati para pasien dadakannya, walau sebagian korban merasa lebih baik langsung pulang daripada harus ditangani junior doctor yang satu itu. Yang dengan senyum ceria menyutikkan bius, menjahit, lalu memberi pain killer seperti sedang bermain dokter-dokteran. Tak ada ekspresi ngeri sedikit pun di wajahnya yang cantik.
Esoknya tak lebih baik. Kini ribuan buruh yang membanjiri jalanan yang tetap macet total. Mereka berdemo tentang perda yang membuat mereka hanya bisa memegang upah sampai tanggal 5 tiap bulannya. Saking sedikitnya uang yang mereka terima dan besarnya utang bulan lalu yang harus dibayar. Pemerintah pusat pun ikut meramaikan kesulitan buruh-buruh tersebut dengan menaikkan harga BBM.
Saat sarapan Kayla melihat ayahnya dalam tekanan yang hebat. Di pengujung masa baktinya sebagai walikota, ternyata terlalu banyak yang lepas dari kendalinya. Keadaan diperparah dengan serangan dari lawan politiknya menjelang pemilu tahun depan, koalisi partai oposan berhasil memobilisasi kelompok pencinta lingkungan untuk memprotes kebijakan ayahnya membangun komplek stadion olahraga di pinggiran kota dengan mengorbankan ratusan hektar sawah. Siang ini Ia harus menghadap sidang anggota dewan kota untuk mencoba meyakinkan mereka ia punya alasan yang baik.
Banyak orang disekelilingnya mencoba membantu, walau Kayla yakin ada sesuatu di balik itu. Para penasihatnya dari kemarin terus bekerja menyusun suatu jawaban yang baik dari masalah tuannya tersebut. Kayla harap ayahnya mempunyai jawaban itu dan jurus-jurus lobby yang dulu membawanya ke rumah dinas ini.
***
Sebagai anak dari tokoh politik paling disegani di kota ini, Kayla selalu mendapat yang terbaik dalam segala hal. Bagi ayahnya ia adalah permata terbaik, dibanding saudara-saudaranya ia memang paling cemerlang. Wajah cantiknya sangat mirip dengan ibunya. Selain itu Kayla sangat cerdas, selalu juara dan dengan semua potensinya ia selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Gabungan kuasa ayah, wajah cantik, otak cerdas, dan pribadi yang selalu ceria membuatnya mendapatkan perfect world.
Ayahnya selalu menginginkan yang terbaik bagi Kayla. Sekolah dari SD sampai SMA selalu di sekolah favorit. Saat ia memutuskan untuk menjadi seorang dokter, dengan mudah ia masuk ke fakultas kedokteran di universitas terbaik di negeri ini. Sumbangan 200 juta tak ada artinya bagi sang ayah, yang penting anaknya yang cantik senang dan bahagia.
Kayla sangat senang olah raga. Hari ketika ia pertama kali menonton sepak bola di stadion bersama kakeknya sewaktu kecil menjadi hari yang tak pernah terlupakan bagi Kayla. Hingga kini ia masih mempunyai harapan untuk bisa menyaksikan kembali tim kebanggaan kota ini langsung di stadion, tapi semenjak ayahnya naik menjadi walikota hal tersebut menjadi hal terlarang baginya.
Kayla pun senang dengan politik. Sebenarnya ia adalah seorang perempuan yang penuh idealisme. Mungkin karena sedari kecil telah terlalu banyak doktrin yang masuk ke otaknya dari sang kakek, mantan menteri dalam negeri. Kebecian kakeknya akan liberalisme dan kapitalis barat bersemayam kuat dalam pikiran Kayla.
Saat hendak ke rumah sakit siang itu, asisten junior ayahnya menambah beban pikiran di otaknya. Dia berkata sebaiknya Kayla pergi ke luar negeri sebelum ayahnya benar-benar jatuh. “ Ini pesan ayahmu. Mungkin meneruskan studi ke Tokyo selama beberapa tahun baik untukmu. Segalanya telah disiapkan, nanti sore ada jadwal ayahmu untuk bicara denganmu ”.
“ Adik-adikmu telah dipindahkan semua ke ibukota, semua tinggal di rumah nenekmu. Sore ini mereka berangkat. Ayahmu hanya ingin yang terbaik bagi kalian semua. “ katanya menambahkan.
Sore itu penuh peluk dan tangis, semua orang menangis. Pada akhirnya semua orang pergi hanya tersisa ibunya. Sebulan lagi tiba giliran Kayla untuk pergi melihat dunia.
***
Sejam setelah mendarat di Narita, Tokyo dilanda badai. Salju turun sangat lebat disertai angin kencang yang arahnya berubah-ubah, berputar tak karuan. Kayla terjebak semalaman di bandara. Bukan permulaan yang bagus di negeri baru.
Sebulan berada di Tokyo, Kayla mulai bosan. Keberadaan Jepang sebagai anggota G-8 membuatnya muak, negeri ini mulai terlalu kapitalis dengan korporasinya dan warganya benar-benar gila kerja. Budaya barat telah merasuki negeri ini terlalu jauh, walau budaya lokal tetap bisa dinikmati. Banyak kawan-kawan Jepangnya tampil berwarna-warni menyakiti mata, kontras dengan ekspatriat lainnya sesama foreign student yang kebanyakan berasal dari negara-negara di Afrika. Memang ia suka dengan tempat-tempat eksotisnya, tapi penduduk di Tokyo mulai memasuki tahap materialis yang parah, mereka terus bekerja demi kebahagian dunia. Jelaslah bahwa para professor di sana sebagian besar penganut Darwinisme dan determinis yang taat.
Kayla sendiri tidak setuju dengan Darwin, menurutnya evolusi hanyalah rekayasa Darwin. Sejak dibuat sampai sekarang alam dan isinya sudah kompleks dan tidak ada perubahan dari makhluk sederhana menjadi rumit seperti saat ini, yang berubah adalah teknologi untuk menelitinya.
Puncak kegalauan Kayla saat ia dikirim ke Hokkaido, ke sebuah desa di ujung Jepang. Disana ia melihat sisi lain kejayaan ekonomi Jepang, sisi gelap Jepang. Bahkan di negara maju seperti Jepang pun desa tersebut tetap gelap di malam hari, tak ada listrik yang mengalir kesana pada malam hari. Lebih parah lagi lahan pertanian yang selalu dihancur leburkan badai, membuat banyak anak kelaparan dan kurang gizi juga berpenyakit, untuk itulah Kayla dikirim kesana.
Fasilitas kesehatan yang tersedia disana hanyalah sebuah klinik dengan seorang dokter relawan berusia 60 tahunan dan setengah lusin perawat relawan yang belum lulus sekolah keperawatan atau bahkan belum pernah sekolah disana. Klinik tersebut tidak memiliki kelengkapan yang layak untuk memberikan pelayanan kesehatan yang standar.
Tapi tetap ada hal yang membuat Kayla terkesan. Dengan kondisi alam yang memusuhi seperti itu, warga disana tetap bekerja keras pantang menyerah. Mata pencaharian warga umumnya berburu dan bertani ketika musim panas tiba. Mereka pun mendidik anak-anaknya agar jangan pernah berputus asa karena dewa mereka selalu melindungi. walau mungkin tak mendapat perhatian dari pemerintah pusat.

Kembali ke Tokyo Kayla terkejut. AS dan sekutunya siap melancarkan operasi teluk babi II ke Kuba. Bush yang merasa jumawa karena berhasil menggulingkan Saddam Husen dalam operasi badai gurun II coba mengulanginya dengan menggulingkan Fidel Castro.
Hal ternekat pun dilakukan Kayla. Sebagai anggota persatuan dokter junior internasional ia berhasil meyakinkan otoritas PBB untuk menjadi Volunteer palang merah. Pikirnya tentu sangat menyenangkan dapat berpartisipasi dalam perang sungguhan bukan perang antar suporter, orang-orang yang kena tembak sebenarnya, peluru asli bukannya batu dan botol minuman. Dirinya tetap akan aman karena dilindungi undang-undang internasional tentang paramedis ditambah pula adanya pasukan perdamaian PBB. Paling penting dari semua diatas menurut Kayla adalah dirinya bisa keluar dari kenyamanan Tokyo dan berpetualang di Amerika Tengah.
Teman-temannya mencoba melarangnya, tapi Kayla bersikeras inilah saatnya untuk menggunakan kemampuan dokternya, apalagi konsentrasinya adalah bedah sesuatu yang sangat dibutuhkan di medan perang. Inilah saatnya keluar dari dunianya yang sempurna dan mencari tantangan baru dengan nyawa taruhannya.
***
Setelah briefing dan grouping di Miami, ia berangkat ke Kuba sebagai Red Cross Volunteer. Dalam kelompoknya ada 8 orang, 2 orang dokter, 3 perawat, seorang portir dan 2 orang pasukan perdamaian PBB yang menjaganya.
Seorang dokter lainnya adalah dokter bedah tulang senior dari Swiss, mentor yang bagus pikir Kayla, ia akan banyak belajar darinya. Seorang portir berkewarganegaraan Meksiko yang selalu tersenyum seakan hendak menuju surga bukan menuju neraka pertempuran. Seorang prajurit baru lulus akademi dari Jerman yang kelihatan terlalu percaya diri dengan senjatanya, meskipun senjata itu takkan pernah ditembakkan dan pemimpin mereka. Seorang letnan dari Pakistan, Ahmad El Maghribi, seorang letnan yang telah berpengalaman bertempur bersama tentara perdamaian PBB di Irak, Afghanistan, Somalia, Lebanon dan Maroko, tempat terakhir dimana ia menjadi pahlawan dan mendapat julukan El Maghribi.
Mereka mendarat di Santiago de Cuba. Sudah dua minggu operasi dilancarkan dan AS masih belum dapat menyerang Havana dari darat. Ribuan tentara revolusi tetap gigih berjuang agar aliansi AS tetap berada di garis terluar, walau beberapa pos pertahanan di pesisir pantai mulai dapat dikuasai AS.
Tugas pertama Kayla adalah menolong seorang karmerad yang tertembak di bahunya, hanya 15 cm diatas jantungnya. Tapi sialnya, lukanya parah. Luka karena peluru ujung lunak dari senjata model M – 16 Carbine. Peluru ini menyebabkan luka lebih parah dari peluru ekspansif. Berbeda dengan peluru tajam, sebuah tembakan akan membuatmu tak berkutik. Kamu memang terluka dan menjadi korban, tapi takkan terbunuh kecuali mengenai organ vital. Peluru ini sekali masuk, bahumu hancur karena peluru ini memuntir di dalam dagingmu.
Kayla bingung, pelurunya dalam dan ia kesulitan mengeluarkannya apalagi ruang operasi disini hanyalah sebuah tenda berbau pengap. Seluruh teori yang ia dapat dibangku kuliah menjadi nol, keadaan saat perang tak memungkinkan untuk mengaplikasikan teori ternyata. Yang bisa ia lakukan hanyalah memberinya morfin sebanyak mungkin. Karena orang sekarat takkan merasa sakit jika harus mati karena overdosis, bahkan ia tak tahu orang sekarat bisa mati overdosis. Setelah berjuang berjam-jam akhirnya ia dapat mengeluarkan pelurunya dan menutup lukanya yang mengangga.
Subuhnya Kayla mendapat tugas ke Moncanda, menuju sebuah barak bekas tentara Batista saat perang revolusi tahun 1959. Jalan menuju kesana melewati beberapa desa di dekat garis terdepan tentara amerika. Desa-desa mulai dipenuhi korban-korban tentara Kuba.
Di luar desa San Fernandez, kebejatan tentara Amerika yang frustasi tak kunjung menembus Havana mulai terlihat. Rombongan berbaju putih dengan bendera palang merah pun mereka serang. Sebuah mortir jatuh hanya 5 meter dari rombongan Kayla yang berjalan berbaris di perempatan Los solicitacion, mortir yang langsung menghabisi portir yang berjalan paling belakang. Letnan Ahmad El Maghribi sudah memberi tanda mereka hanyalah paramedis dan tidak membalas serangan, tapi berondongan senapan mesin mulai mengarah kepada mereka.
Kayla sudah tiarap sedari tadi, sejak pecahan mortir dan batu melukai wajahnya dan membuat pendengarannya berkurang. Satu persatu rekan-rekan setimnya gugur. Disebelahnya berbaring telungkup dalam genangan darah Mary Bloemkool, perawat dari Afrika Selatan, dan tiba-tiba beban berat menindihnya. Adrian Stranzl dari Jerman jatuh dengan kepala penuh darah, dengan refleks ia mendorong tubuh tersebut ke pinggir. Kayla tak dapat melihat dengan jelas, hanya kilatan senjata api dan bercak merah darah di baju putih rekan-rekannya. Terdengar suara Letnan Ahmad menyuruhnya berlindung dan dalam kepulan asap ia melihat Jan Scheneider menembakkan senjatanya ke arah reruntuhan di atas bukit.
Sebuah tangan menariknya, sambil merunduk ia berlari. Baru kemudian ia tahu, Dr. Philip lah yang menariknya untuk bersembunyi. Kengerian berlanjut ketika tiba-tiba Dr. Philip tersungkur, dari pelipisnya mengucur darah segar. Perasaan mual, marah, dan takut bercampur.
Kayla hanya ingat dia berteriak sebelum semuanya menjadi gelap. Tentara macam apa yang mengerahkan penembak jitu untuk menjatuhkan paramedis dalam sebuah pertempuran. Mereka telah melanggar selusin konvensi dan hukum internasional.

Saat membuka mata, yang pertama dilihatnya adalah letnan Ahmad dengan kepala dan badan tak berbaju yang terbalut bebat, ia berbaring di dipan di sebelahnya. Ia merasa panas disekitar pipinya, ketika diraba pipinya pun telah tertutup perban.
Kayla menangis. Dalam timnya hanya tersisa ia dan letnan Ahmad. Letnan Ahmad bercerita ia mendengar teriakannya dan menemukannya telah terbaring disebelah Dr. Philip, dengan sekuat tenaga sambil menghindari tembakan, sang letnan membawanya ke tepian sungai. Beberapa saat setelah itu tentara perdamaian PBB tiba. Sekarang mereka sedang berada di markas tentara perdamaian di Santiago bersama selusin tentara perdamaian lainnya yang juga terluka akibat serangan tentara sekutu.
Kedutaan Indonesia menjadi panik ketika mendengar ada warganya yang ikut bertempur. Dalam sekejap beberapa birokrat telah berkumpul di Santiago untuk menyelamatkannya dan mencoba membawa Kayla keluar dari medan perang.
Letnan Ahmad mengantarnya sampai ke pesawat, hingga Kayla terbang pulang ia tetap bertanggung jawab untuk melindungi katanya ketika Kayla menolak diantar. Dengan susah payah dibantu beberapa prajurit karena nyaris semua tulangnya patah dan retak sang letnan mengantar sampai hangar dan menangis sambil melambaikan tangan. Kayla ikut menangis didalam pesawat teringat kata-kata terakhir sang letnan padanya, “ maaf aku gagal melindungi kalian semua. “
Hanya 2 hari Kayla bertugas di medan perang, 48 jam setelah kejadian itu Kayla telah berada di atas kursi roda di bandara Soekarno – Hatta. Sedih kehilangan teman-teman yang baru dikenalnya dan merasa dikhianati idealismenya.
***
Tragedi Perempatan Los solicitacion. Tentara Amerika menyerang paramedis dan tentara perdamaian PBB. Judul berita yang Kayla baca di Koran esok harinya. Ayahnya menemani Kayla sarapan. Adik-adiknya telah pergi sekolah dan ibunya sedang mengantar adik-adiknya.
Popularitas ayahnya kembali naik setelah Kayla muncul di tv, “ sukarelawan medis Indonesia diserang Amerika “ sampai kini beritanya terus diputar disetiap news session di semua channel. Ayahnya tersenyum kepada Kayla yang coba balas tersenyum tapi pipinya kembali perih.
Sebulan setelah serangan pertama, Amerika menarik mundur pasukannya. Tekanan dunia internasional dan juga karena frustasi tak kunjung menguasai Havana membuat operasi teluk babi II gagal seperti operasi sebelumnya.

No comments: