Monday, August 24, 2009

Sial, kenapa aku beruntung!? [another buschen cerpen]

Pernahkah kamu bangun tidur dalam gelap dengan perut sangat lapar dan tak ada sepeser rupiah pun dalam kantongmu? Lalu kamu memutuskan untuk tetap berpikir positif dan berkata menghibur diri, “ Tuhan tahu apa yang terbaik bagi hambanya. “ Lalu kamu pun bangkit dari tempat tidurmu yang sangat nyaman, tanpa berpikir untuk mandi. Kamu mencuci mukamu, menyikat gigi lalu meminum segelas air putih untuk sarapan.

Pagi ini perasaan aneh menyelimutiku ketika bangun tidur, dengan uang bulanan yang benar-benar habis aku memutuskan untuk pergi ke kampus, sebuah perasaan bahwa kampus akan membuatku lebih baik hari ini, maka berangkatlah aku ke kampus, berjalan kaki. Perasaan pula yang menuntunku untuk mengecek hasil ujianku dan hasilnya tetap sama seperti bulan yang lalu, seperti minggu lalu, bahkan seperti hari kemarin, nilai ujianku belum keluar. Tanpa nilai ujian itu aku tak bisa mengambil beberapa mata kuliah semester depan, dan semester depan adalah minggu depan. Perasaan ajaib menyuruhku untuk pergi ke toilet walau aku tak ingin kencing, dan disanalah aku menemukan tergeletak beberapa lembar rupiah, 10 ribu dalam pecahan 1000 rupiah yang segera ku kantongi.
Dengan modal sepuluh ribu rupiah uang ajaib pemberian Tuhan aku memutuskan untuk mengunjungi kantin ibuku, untuk sarapan dan meminta dana berlebih. Modal ongkos empat ribu akan menghasilkan ekses dana dua puluh ribu dalam perhitunganku. Maka berangkatlah aku ke ujung kampus ini mencegat angkot lalu meluncur ke sisi lain kota. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, kantin ibuku tutup. Maka dengan perut yang belum juga terisi kuputuskan untuk pulang ke rumah saja, jaraknya sekitar satu kilometer, yang dalam perhitunganku masih dapat kutempuh dengan kombinasi berjalan kaki dan naik ojeg, karena sisa uangku tak mencukupi untuk memanjakan kakiku. Matahari pagi yang terik kutantang saja lah.
Aku masih berjalan menentang terik pagi ketika suara klakson mengagetkanku. Tetanggaku yang sopir angkot menghentikan mobil pick up pasirnya di sebelahku. Kata-kata nya pendek saja, “Hayu!” dan obrolan pun mengalir diantara kami, walau aku tak ingin mengobrol dengannya namun hati kecil memaksa untuk berbasa-basi dengan sang penolong.
“tumben teu narik mas?”1 tanyaku memulai.
“geus dua poe jadi supir matrial, narik ge hese ayeuna mah.”2 Jawabnya setengah curhat. Maka kuputuskan saja mendengarkan curhatnya lebih lanjut, aku malas berkata-kata.
Dalam 10 menit aku telah tiba di depan matrial tempat mas sopir angkot yang sekarang jadi sopir angkut pasir bekerja, matrial itu tapat didepan gang kecil yang tembus langsung ke samping rumahku. Rencana pertamaku begitu tiba di rumah adalah sarapan, perut ini sudah minta diisi, sebenarnya tak terlalu keroncongan namun bayang-bayang ancaman maag membuatku tak ingin ambil resiko. Aktivis seperti aku dan teman-temanku selalu dibayangi thypus dan maag jika kami tak menjaga asupan gizi ke dalam perut.
Apakah solat subuh berjamaah sangat mempengaruhi apa yang bakal didapat seseorang sepanjang hari esoknya? Jika ya, aku menyesal tidak solat subuh berjamaah di masjid tadi subuh, karena ternyata tak ada nasi di rumahku. Nenekku gembira menyambut kedatanganku, seperti biasanya, dia selalu gembira melihatku memasuki pintu rumah mungkin karena aku satu-satunya cucu beliau yang berhasil kuliah, aku lah permata di keluarga besarnya yang karena kemiskinan membuat saudara-saudaraku lebih banyak yang bekerja atau menikah setelah lulus SMA. Namun untuk kesempatan kali ini dia gembira karena berekspektasi cucu kesayangannya ini dapat membetulkan masalah pada kompor gas subsidi pemerintah kami, sayangnya aku tak begitu mengerti mekanisme kerja kompor gratisan itu dan aku terlalu khawatir kompor itu meledak, maka dengan sangat menyesal aku melapor bahwa aku tak dapat membetulkan kompornya. Nenekku tidak begitu kecewa, kebanggaannya padaku menutup semua kekecewaan yang mungkin kuhasilkan.
Tak ada makanan membuat pilihaku jatuh pada tidur siang saja, semoga tidur dapat sedikit mengurangi laparku dan menjauhkan maag dari lambungku. Tidur siang membuatku bermimpi, mimpi yang menyedihkan, mimpi tentang makan siang yang menyenangkan, ada banyak kebahagiaan. Mimpiku tak lama, adik-adikku pulang dari sesuatu yang mereka sebut belajar di sekolah, yang menurutku mungkin memang belajar mereka disana itu. Tak lama pula mereka telah berbaris dihadapanku, yang baru setengah sadar, meminta uang untuk jajan. Dua orang bocah, kecil-kecil, botak-botak, mengadahkan tangan dan sedikit menghipnotis kurasa hingga aku memberikan empat lembar sisa uangku untuk mereka, dan mereka pun berlari keluar dengan bahagia tak terkira, jarang-jarang dapat duit dari kakaknya yang jarang pulang ke rumah.
Aku sepenuhnya sadar sekarang, air dingin mengembalikan semua nyawaku. Kulkas kosong tak berpenghuni hanya berderet-deret botol berisi air tak berasa yang satu botolnya talah kosong ku transfer ke dalam perutku yang tetap kosong. Uangku tinggal dua lembar ribuan, tak cukup untuk membeli sesuatu yang bisa mengeyangkan dan menjauhkan teror maag yang kini benar-benar telah membuatku ketakutan. Aku perlu membuat keputusan yang cepat, aku berjalan ke ruang tamu, membaca koran dan nenekku datang menyuruhku makan, hanya tawaran kosong tak kongkrit karena dia pun tahu, tak ada apa-apa yang bisa dimakan di rumah ini. Tawaran tak kongkritnya berubah cepat menjadi sesuatu yang kongkrit ketika beliau menyorongkan uang 15 ribu. Kata mama beli gas, aku menerima nya dengan hati tak menentu, ku cek gas di dapur, masih berat, tanda tabungnya masih memiliki isi, kulaporkan gas nya masih ada, lalu dia bilang ya udah beli makan aja, dan kupeluk nenekku penuh kasih sayang. Dia menangis.
Pukul dua siang adalah saat-saat ketika mentari merajelela menjajah bumi, panas terik lebih hebat membakar di banding pagi hari. Kuputuskan untuk nekat keluar rumah demi perut yang sudah semakin kritis, pilihan pertamaku adalah lotek di ujung gerbang komplek, walau tak ada nasinya namun tetap bisa membuat perut kenyang dan menyegarkan di siang hari. Gerbang komplek telah terlihat dan warung lotek tak ada disana, yang ada adalah bangunan seperempat jadi yang sedang dikerjakan para tukang, warung lotek telah tergusur.
Dengan langkah yang gontai aku putuskan untuk menuju warung lotek lain yang ada di utara mesjid komplek kami, jaraknya di sisi lain warung lotek tergusur. Di tengah jalan aku berubah pikiran, lebih baik makan nasi sekalian deh. Maka aku membanting langkah di pertigaan komplek daripada belok kiri menuju warung lotek aku lebih memilih ke kanan menuju warung nasi. Kulewati tukang baso dan mie ayam yang sempat menggoda, di sebelahnya warung nasi berdiri, angkuh menutup pintu. Warung itu tutup, ya Tuhan.
Pilihanku menjadi bimbang, namun segera kuputuskan menantang belantara terik lebih dalam menuju warung nasi satunya lagi di ujung tanjakan, panas dan gravitasi tak meluluhkan tekadku untuk dapat sarapan yang dirapel makan siang. Sampai di tempat tujuan warung dipenuhi tukang ojeg, aku sedikit malu untuk masuk, tapi perut lebih malu jika lambung bergejolak maka kutekadkan menembus barikade tukang ojeg itu dan setelah semakin dekat insting ku berkata curiga, pintunya tertutup juga. Warung nasi itu berubah jadi warung biasa yang menjual ketengan rokok dan ketengan obat dan ketengan barang-barang lainnya. Baru kusadari, temanku pernah memberi kabar buruk beberapa bulan lalu, nenek pemilik warung sudah meninggal.
Peluh dan gengsi bercampur, namun gengsi lebih banyak dari peluh, diperhatikan banyak tukang ojeg membuat kakiku pantang berputar, maka aku pun masuk ke gang disebelah kiri warung, menuju jalan-jalan smepit tempat aku sering bermain saat sd dulu, yang kini sudah semakin sempit karena bangunan-bangunan baru. Di jalan baru kurasakan, jalan memutar ini jauh sekali dan menanjak.
Keluar gang, tepat didepan tukang baso dan mie ayam yang sempat tak kupertimbangkan dengan serius, keinginan menghisap nikotin melepas sedikit stress dari otak muncul. Aku berebelok ke warung penjual pulsa yang juga menjual rokok ketengan. Pilihan para pria yang punya selera ikut kupilih, 2 batang cukup, satu sebelum makan sambil menunggu pesanan, satu setelah makan sambil meredakan perut yang terisi.
Kupesan mie ayam, sifat rakus manusia membuatku memesan plus basonya sekalian. Pesanan lama dibikinnya, membuat sebatang rokok habis terbakar dan terhisap. Makan mie ayam yang kusesali begitu banyak diberi sambal sehingga sangat pedas, cukup memakan waktu, hampir dua puluh menit. Anak sang ibu penjual mie ayam menangis, dia berantem dengan kakaknya. Aku tak tahu kenapa adik berkakak itu berantem, setelah mie ayam ludes dan aku bersantai menikmati rokok kedua baru kuketahui sebabnya. Sang anak kecil hendak pergi mengaji, dia telah rapih sehabis mandi, namun baju ngajinya belum terkancing, dia tak sudi kakaknya yang mengancingkan, hanya ibu yang boleh menyentuh kemeja ngajinya. Anak kecil mengaji membuatku mengingat masa kecilku, aku pernah mengalami situasi nya, pergi mengaji sebelum ashar dan pulang ke rumah setelah maghrib, sedikit mengaji banyak bermain.
Perut terisi, kembali ke rumah, sebuah sms memaksaku harus sesegera mungkin kembali ke tempat kos. Dana tersisa tinggal sembilan ribu, ongkos pulang ke tempat kos lima ribu, masih ada ekses empat ribu. Maka aku pun pamit pada nenekku tercinta sambil berpesan bilang pada mama tadi Asep pulang, duit beli gas diambil Asep soalnya gasnya masih isi. Kupeluk nenekku lalu mencium tangannya dan aku pun meninggalkan rumah, adik-adikku entah berada dimana, asik bermain.
Naik ojeg, perasaanku menyuruh untuk turun di jalan raya di ujung perbatasan kota dan kabupaten, rumahku berada di kabupaten. Membayar ongkos dengan uang pas aku memutuskan untuk berjalan kaki sampai tempat kos, sisa dana bisa kupakai sarapan esok pagi dan aku pun kembali berjalan, dalam gelapnya petang kali ini. Mampir ke tukang bubur kacang ijo untuk memesan segelas kopi hitam yang sayangnya tak bisa ditemanin rokok, karena teman pas untuk kafein adalah nikotin. Dan aku kembali berjalan, tiba di tempat kos dalam setengah jam, mandi, solat lalu tidur kembali dalam keadaan perut kosong namun rupiah di kantong. Terimakasih Tuhan. Memberi hambamu kesialan merasakan beruntungnya hidup.
***
1 tumben gak narik (menyopiri ankot) mas.
2 sudah dua hari jadi sopir matrial (toko barang bangunan), jadi sopir angkot susah sekarang.


inspired me on this short story:
the coffebruderhood [andi akang, lani ruhendi]
oki indra putra
mas djoko
ananda 'alex' asep
ibu eti iryanti
siti khodijah yang lahir tahun1928
jasmine tea

veil danke!!!