Thursday, March 20, 2008

Walikota

Sekarang aku telah bekerja. Sebagai seorang jurnalis kolom politik di sebuah surat kabar terbesar di kota ini. Dengan press id aku punya akses ke berbagai agenda pemerintah.

Seperti saat ini, dengan sedikit trik-trik aku berhasil meloby penjaga pintu dan menyelinap ke balkon untuk melihat jalannya sidang paripurna para anggota dewan kota yang membahas rencana pengembangan dan tata kota.

Kelompok 8 bentukan walikota yang terdiri dari para sarjana, politisi dan pengusaha yang berpengaruh sedang menjelaskan tentang rencana pembukaan wilayah utara kota untuk dijadikan hunian real estate dan pembangunan convention hall di daerah yang sama.

Aku terkejut dengan sedikitnya interupsi dan pertanyaan kritis dari para anggota dewan tentang rencana tersebut. Padahal wilayah utara adalah kawasan konservasi yang harus dilindungi untuk melindungi persediaan air kita, bukan dibuka untuk alasan ekonomi dan kependudukan. Padahal tanpa perumahan itu saja air di pusat kota sudah susah, apalagi jika harus digunduli.

Beberapa anggota dari fraksi-fraksi tertentu malah menghadiri iding dengan wajah bosan dan tampak akan menyetujui saja rencana tersebut.apa-apan itu? Padahal saat rapat tentang penutupan lokalisasi wts di timur kota mereka sangat ramai dan penuh semangat menolak hal itu. Ada hal yang tak beres.

Aku segera pulang dan menulis berita yang kritis untuk dikirimkan. Dengan berapi-api aku menulis hasil rapat yang perlu dipertanyakan itu, plus beberapa kecaman dan sedikit teori konspirasi dariku.

***

Sekarang aku kembali menganggur. Hanya dua minggu aku bekerja di harian tersebut. Idealismeku menitahkan untuk pergi dari tempat jahanam tersebut, setelah berkali-kali tulisanku tentang kebijakan pemerintah kota diedit habis-habisan dan berubah dari berita kritis menjadi tulisan tak bermutu yang tampak seperti dibuat oleh anak SMA.

***

Bertahun-tahun telah berlalu sejak aku menambah jumlah pengangguran di negeri ini. Kini aku telah mempunyai pekerjaan, salah satu dari yang terbaik yang bisa didapatkan. Jabatan yang kudapat dengan susah payah.

Kini aku walikota dari kota terbesar ketiga di negeri ini.

Hari ini aku punya agenda rapat dengan para penasihat, bagian tata kota dan badan pembanguan kota.

Rencananya tahun ini kami akan membuka daerah selatan untuk dijadikan kawasan industri dan manufaktur. Setelah banyak basa-basi dan pujian-pujian untukku mereka mulai bicara panjang lebar.

Ketika kutanyakan bagaimana cara menyakinkan para anggota dewan untuk menyetujui rencana itu. Sedangkan daerah selatan adalah daerah pertanian terpenting untuk kota ini juga sebagai hinterland yang meyokong kota ini. Mereka malah tersenyum.

” jangan bingung pak, ketua dewan kan berasal dari partai bapak semuanya akan lebih mudah. Kami juga telah menyiapkan beberapa miliar untuk uang duduk mereka.” Kata penasihat seniorku.

” jika proyek ini gol, keuntungan yang diterima kota ini juga sangat besar, dan tentu yang masuk rekening bapakpun tidak sedikit.” Kata orang dari pengembangan kota.

” Yang perlu kita lakukan saat ini adalah menguhubungi beberapa orang di berbagai fraksi, tentu jika bapak menyetujui proposal ini.” Wakil dirjen tata kota menambahkan.

” Esok kami mulai bergerak.” Asisten seniorku berucap mantap.

“ Bagaimana degan para ahli di universitas kota dan jurnalis idealis yang selalu merecoki di surat kabar? “ tanyaku.

“ tenang pak, pemred surat kabar tersebut baru saja menikah dengan anak saya setelah istri pertamanya meninggal karena kanker. Biar Koran menjadi urusan saya.” Penasihat senior menenangkanku.

“ sekarang tinggal bapak tandatangani saja proposal ini.”

Tanpa berpikir lebih panjang kutandatangani proposal di depanku.

Beberapa minggu kemudian proyek itu disetujui dewan. Tak ada satupun berita dan kritik yang tajam di Koran, hanya ada tulisan yang tampak seperti dibuat oleh anak SMA.

Ali_boss

PENYELAMAT BANGSA

Kami kehabisan waktu dan cat semprot. Padahal tinggal sedikit lagi kami menyelesaikan graffiti “fuck democracy” di tembok rumah gedong itu. Tembok rumah seorang anggota dewan di komplek elit kota ini.

Anggota dewan yang terpilih dalam pemilu hasil demokrasi, yang tetap menjalankan sistem lama yang sama. Yang membuat ia dapat pindah ke rumah mewah ini, sedangkan ayah kami semakin sulit memeberi makan keluarga.

Di masa injury time itu hal yang kami takutkan akhirnya tiba. Bukan cat yang makin nyaring ketika dikocok, karena cairan berwarna di dalamnya menipis, tapi segerombol security dengan anjing peranakan herdernya.

Adegan the most terrible chased pun dimulai. Kami berlari di bawah rasi bintang wuluku atau orion atau apapun, aku tak pernah tahu. Dan kelebatan akasia di kiri kanan kami. Dan tiga orang security plus seekor anjing herder di belakang kami.

Aku berlari paling depan. Walaupun sisa – sisa nikotin di dada mulai membuat paru – paru menjerit tapi aku bisa berlari lebih cepat daripada Ide. Karena aku sering bermain sepakbola. Terbiasa mengejar striker lawan jadi modalku jika harus sprint race.

Sambil mengatur nafas ala sprinter nasional yang berlaga di Asian Games. Aku melihat Ide sudah tertangkap, dan dua orang security kini mengejarku.

Empatiku muncul, ingin rasanya berhenti saja dan menghadapi marabahaya bersama. Apalagi badanku juga mulai overheat. Tapi, egoku membuat kaki terus bergerak secepat mungkin.

Dan seperti juga sprinter nasional yang kalah di Asian Games. Akupun terkejar oleh seorang security yang dengan tidak sportif menarik jaketku.

Bersama kami digelandang ke pos satpam. Bentakan dan cacimaki menghambur ke arah kami, ditambah beberapa tamparan, lengkaplah sudah. Hidup ini memang penuh penderitaan.

Sebenarnya malam minggu ini bisa lebih tenang. Jika saja aku tidak termakan omongan idealis si tengik Ide Subroto. Mungkin saat ini aku bakalan berada di ruang tamu rumah Giza, mengobrol hangat sambil menikmati cappuccino dan kue – kue.

Bukan di sini mengobrol dengan security, yang bicaranya membentak dan kami yang merespon dengan gemetaran.

It’s gonna a long night ever.

* * * *

Sabtu siang itu pelajaran agama. Minggu ini untuk kesekian kalinya sang Oemar Bakrie tidak masuk kelas. Kelas ramai oleh celoteh ceria anak – anak.

Para lelaki yang mulai beranjak dewasa asyik berkumpul bermain catur. Prinsip mereka. Catur baik untuk otak, tidak membuat badan berkeringat, penuh filosofi dan yang pasti takkan dirampas jika ketahuan guru. Walaupun sedikit uang berputar diantaranya.

Ide sedang khusuk memikirkan langkah berikutnya. Ia memang most wanted untuk dikalahkan. Sebagai anak ketua percasi cabang kota ini, ia punya prestige untuk dikalahkan terlebih skillnya diatas rata – rata. Tapi, secara mengejutkan ia malah membuat blunder dan kalah langsung. Tidak ada rasa menyesal diwajahnya, ia malah langsung menarikku ke sudut kelas, meja kami berdua.

Ternyata Ide sengaja mengalah untuk menarikku ke pojok kelas. Sebuah ilham turun padanya saat sedang konsentrasi dengan catur. Sebuah ide gila yang penuh resiko.

* * * *

Kami berdua memang sahabat yang penuh pikiran idealis, bahkan dia sedikit utopia. Sudah dua tahun terakhir kami selalu duduk bersama dan selalu di pojok kelas. Karena itu kami menamai diri kami pemikir pojok kelas.

Kami punya rasa tertarik yang tinggi terhadap politik. Walau aliran dan ideology kami berbeda. Dia seorang kiri merah, sosialis, radikal dan pemberontak yang mengklaim dirinya atheis, tapi hafal juz amma lebih baik daripada aku.

Sedangkan aku lebih moderat, mencari jalan tengah dan cenderung ikut arus yang ramai. Tapi bukan asal ikut – ikutan di tengah. Karena walau cari aman di tengah, akulah bosnya. Akulah yang menentukan kebijakan, itu prinsipku.

Maka jadilah kami seperti kruschev dan kennedy yang berteman baik.

Di pagi hari, ditemani secangkir kopi dan kadang sebatang rokok, tentu sambil sembunyi dari guru – guru yang berkeliaran, kami sharing pendapat dan berdebat tentang banyak hal.

Dia seorang seniman dan aku pekerja yang punya jaringan yang luas. Walaupun kami sama – sama menentang globalisasi dan pasar bebas, tapi kami mengaplikasikan prisipnya. Pemilik modal yang kreatif dengan raja jaringan, membuat fondasi yang kokoh untuk menguasai pasar.

Sore itu sepulang sholat jum’at. Kami berdiskusi tentang sebuah poster yang berisikan kritik tentang demokrasi yang masih menggunakan sistem lama yamg terbukti buruk dan serangan terhadap kaum sosialis kiri yang radikal dan utopia.

Sebagai seorang moderat yang mengidolakan Amien Rais aku setuju, kita tidak membutuhkan demokrasi dan hukum suatu Negara, dimana seseorang yang terpilih secara demokrasi, dia tetap menjalankan sistem lama yang sama. Ini sih panggung sama dengan aktor baru yang sama – sama bermain buruk. Kalau begitu apa arti demokrasi?

Ide berpikiran lain. Dengan otak yang terkontaminasi unsur kiri – marx dia mengutip pemikiran Subcomandante Marcos, pemimpin pemberontakan di Chiapas, Meksiko. Bahwa, demokrasi haruslah membangun sebuah ruang untuk berbicara dan menampung semua ideologi. Dan berakhir dengan semua pihak merasa senang. Dia juga menambahkan dengan beranalogi, penyakit yang akut dan parah hanya bisa disembuhkan dengan operasi. Begitu pula negeri ini, yang bisa menyembuhkannya hanyalah revolusi. Hahahaha……

Setelah itu dia tertawa keras dan aku Cuma tersenyum kecut. Dasar komunis, mengaku demokrasi tapi percaya hanya ada satu partai yang boleh ada dan berkuasa. Harus satu partai, satu pemimpin, satu ideologi. Apanya yang demokrasi kalau begitu. Demokrasi hanya topeng bagi kalian.

Lalu kamipun bicara lebih banyak tentang para anggota dewan yang terpilih secara langsung saat pemilu.

Mereka yang dulu mengumbar janji, tapi saat sidang malah memperjuangkan kepentingan partai. Dan diluar sidang sibuk mencari kekayaan dan kekuasaan dengan jabatan sebagai barang jualan dan senjata andalan. Lalu menjilat para pemimpin dan menguapkan uang rakyat dari bejana – bejana kewajiban warga Negara.

* * * *

Di pojokan kelas itu dia berorasi dengan semangat, pendengarnya Cuma satu : aku, yang mendengar dengan tidak semangat.

Aku lebih sibuk memperhatikan Giza, perempuan yang menjadi targetku, daripada impian seorang idealis yang pagi ini tidak mandi saat hendak berangkat ke sekolah.

Bagiku perempuan berambut panjang dengan sedikit keriting itu ditambah bandana di ujung pangkal poninya benar – benar cantik dan menarik. Apalagi orang yang berbicara di sampingku saat kuperhatikan ternyata rambutnya . . . . aah seperti semak di padang stepa. Dasar seniman, dia masih cerita panjang lebar pula.

Akhirnya aku hanya bilang, kita kerjai saja anggota dewan itu.

Dan dia berkata dengan semangat memang itu maksudnya. Dia bilang kitalah yang harus bergerak. Pemuda – pemuda idealis yang mengerti tentang politik yang ingin negeri ini berubah. Ayo kita buat indah rumah mereka dengan graffiti yang mengesankan. Malam ini juga!

Aku terkejut. Gila ini orang, masa dia ingin menggambar di tembok rumah anggota dewan, kenapa nggak di buku gambar saja. Lagipula ini malam minggu, saatnya mencari cinta bukan mencari masalah.

Tapi ia malah menekanku dengan sederet alasan politis yang berhaluan kiri. Juga sempat menyindir, apakah aku hanya pemuda yang tidak punya pendirian dan masa depannya suram. Yang mengabiskan malam minggu menonton orang mengamen sambil berjoged dan mabuk. Atau pemuda yang menghabiskan malam di rumah cewek kecengannya berbuat mesum, atau semi mesum. Kata terakhir ditambahkanya setelah aku memelototinya.

Lalu di berkata. Bahwa akulah satu – satunya yang tepat yang tahu alamat rumah anggota dewan partai P itu, juga akulah satu – satunya yang dapat menyediakan cat semprot dengan banyak dalam sekejap juga murah. Tentunya karena aku punya jaringan katanya.

Akhirnya aku setuju, tapi bukan karena bujuk rayunya hanya karena Giza bilang kalau mau main kerumahnya datanglah jam 9 malam.

Aku berpikir kalau kami mulai jam 6, maka kami dapat selesai sebelum jam 9 dan semua orang akan senang. Kecuali anggota dewan itu tentunya.

Sehabis magrib Ide datang menjemputku, 7 kaleng pilox mejikuhibiniu kami bagi dua. Petang ini cuaca cerah, Ide bilang suasana yang cocok, aku bilang pertanda buruk.

* * * *

Sudah puluhan kali Ide mengucapkan kata ampun Om dan sudah puluhan kali pula kami push up. Tapi tampaknya si security belum juga puas. Katanya malam ini kami menginap disini, tentu diluar pos, untuk meneruskan hukuman esok hari.

Saat kulihat, jam dinding menunjukan pukul setengah sebelas. Habis sudah harapan bertemu Giza, tapi harapan datangnya penolong masih belum habis. Apalagi aku tahu, Tasya teman sekelas kami rumahnya juga di komplek ini. Tapi, tak kuberitahu Ide agar makin putus asa dia.

Kami berjongkok dengan tangan di kepala di luar pos satpam. Udara sangat dingin terlebih hanya tinggal boxer yang tersisa di tubuh kami.

Para security sedang menonoton liga inggris sambil minum kopi di dalam.

Ide sempat melontarkan usul untuk kabur. Tapi aku tolak mentah – mentah, apalagi badanku capek dan lemas setelah push up 100 kali.

Saat sedang memaki – maki teman seperjuanganku, tiba – tiba sebuah lampu mobil menyoroti kami. Hati terasa lega dan gembira walau rasa malu juga sama – sama muncul. Itu mobil yang sering kulihat jika Tasya datang ke sekolah di pagi hari.

Tasya dan keluarganya baru pulang makan malam, saat mereka melihat dua makhluk menyedihkan sedang berjongkok di luar pos satpam. Setelah loby – loby dan birokrasi yang berbelit dan alot. Ayahnya Tasya menang, dan kami dibebaskan dengan syarat tak boleh menginjakkan kaki lagi di komplek itu.

Dengan penuh rasa bahagia kami menyalami sang bapak dan mengucap terimakasih tidak lupa pujian – pujian untuk si bapak dan anaknya.

“Anda adalah penyelamat bangsa.” Kata kami.

Akhirnya malam panjang yang dingin dengan suasana panas seperti di neraka berakhir.

* * * *

Selasa pagi, selesai jam pelajaran pertama aku pergi ke perpustakaan bersama Ide. Sambil menikmati gorengan panas kami membaca Koran dan terkejut.

Di halaman tiga kulihat foto seorang bapak yang kami sebut penyelamat bangsa sedang tersenyum. Dengan tulisan bahwa ia menyetujui draf baru tentang tunjangan anggota dewan yang mencapai jutaan rupiah. Yang membuat rakyat semakin menderita.

Pantas dia menang ketika meloby security untuk menyelamatkan kami, wong jagonya!

Kamipun memaki – makinya.

Tapi, beliau memang penyelamat bangsa. Kalau tak ada beliau mungkin kami akan kapok mencoba merubah negeri ini.

Ali_boss

ps. thanx bwt blankky to da sky,, pemikir pojok kelas will still living, diskusi tentang selebaran yang kau dapat dari ultimus atau dari manapun trully inspired this cerpen...




ali husen-okky ainur
kennedy-kruschev

HUJAN

Jika dua orang janjian ketemu, aku hampir selalu dapat bagian yang menunggu. Entah mengapa aku selalu tak tenang jika datang terlambat dan parahnya orang lain hampir selalu datang terlambat. Seberapa telatpun aku datang mereka selalu datang lebih telat. Menunggu itu menyebalkan, sialnya aku telah kebal menunggu.

Hari ini cukup parah, karena terlalu cepat mengerjakan praktikum aku harus dobel menunggu. Menunggu si neng selesai kuliah dan menunggu hujan reda. Percayalah, tak ada yang lebih baik diantara keduanya. Waktu menunjukan pukul lima lewat lima saat kulihat HP-ku. Kuliah seharusnya selesai lima menit yang lalu, tapi ia masih belum datang juga. Sepatuku yang sedikit basah mulai memberi efek yang tidak menyenangkan. Hujanpun belum menunjukan tanda – tanda bakal berhenti. Aku masih berdiri merapat tembok di samping kantor dekanat, menunggu ia keluar dari gerbang di seberangku.

Lima belas menit berlalu, aku mulai tak sabar. Ingin kuhubungi ia, sayangnya aku tak punya pulsa. Lalu, semuanya terjadi begitu cepat. Hujan masih deras, sebuah sedan milik kapten tim futsalku melaju cepat di depanku, jendela depannya terbuka dan sesosok wajah cantik berteriak padaku, “ Bastiii, duluan ya!”

Damn, I hated this rain. Akhirnya aku memutuskan mengobati luka hatiku dengan berjalan kaki menembus hujan. Adzan magrib berkumandang dan daripada menuju mesjid aku justru berjalan menuju warung kopi. Sebuah dosa lagi, pikirku.

***

Aku masih melompat – lompat sambil bernyanyi bersama ribuan orang lainnya. Mendung pekat dan hujan lebat yang turun dari tadi kontras dengan hatiku yang cerah gembira. Aku cinta hujan, jika biasanya kami kepanasan saat menunggu kick off kali ini kami lebih nyaman, karena hujan yang telah membuat seluruh tubuh basah kuyup adalah hal yang biasa bahkan menyenangkan, daripada kepala overheat karena terik.

Yang lebih menggembirakan adalah setiap kali hujan tim kebanggaan kami selalu menang, lebih dari itu mereka selalu membantai lawannya ketika hujan. Sepertinya hujan membawa keberuntungan bagi kami, benarlah kata pepatah Cina ‘ hujan adalah rezeki’.

Saat ini lima menit menjelang pertandingan berakhir, hujan semakin deras, tapi serangan kami pun makin deras membanjiri gawang lawan. Akhirnya gol kelimapun tercipta melalui sebuah serangan sporadis dari kedua sayap. Sebuah kemenangan fantastis dibawah guyuran hujan, 5 – 0.

Walau dua kali diguyur hujan, sekali saat menjelang kick off dan sekali lagi saat babak kedua baru dimulai, aku puas datang ke stadion ini. Permainan cantik, hujan gol dan cleansheet ke tujuh musim ini secara beruntun, what a beautiful game. “ ya Tuhan, berilah terus hujan-Mu saat kami bertanding.” Do’a-ku dalam hati.

“ Ide, pulangnya konvoi terus kita minum STMJ di tempat biasa.” Qismis Kumis berteriak padaku, aku hanya mendengar sayup – sayup karena keributan disini, semua orang nampak tak bisa diam karena kesenangan atau karena kedinginan? Hasilnya, aku terpisah dengan teman – temanku saat konvoi dan tersasar dengan ban motorku kempes. Untung aku cepat menemukan tukang tambal ban, sekalian aku masuk ke warung kopi yang sangat menarik hati di sebelahnya.

***

Aku benci hujan. Panas terik lebih baik daripada hujan bagiku. Sepanas – panasnya cuaca, bajuku tidak basah kuyup dan membuatku masuk angin lagipula semua terik itu bisa kuatasi dengan sebotol minuman berkarbonat atau segelas besar fresh juice. Tapi hujan, badanku basah, motorku kotor dan yang paling parah seperti saat ini, sudah setengah jam aku berteduh di kios bobrok tak berpenghuni ini, berbatang – batang rokok sudah kuhabiskan tapi hujan tak mau berhenti.

Untungnya aku orang yang positive thinking, saat hujan seperti ini adalah saat yang tepat untuk merenung. Berpikir sambil merokok, merokok sambil berpikir. Biasanya ide untuk novel yang sedang kutulis muncul disaat – saat seperti ini.

Lamunanku terganggu oleh dering hp-ku. Sms dari ibuku rupanya, ‘ Kozi,, jgn ngrokok wkt ujan, paru2 bsh nanti.’ Aku tersenyum. Telat bu, sudah setengah bungkus rokok kuhisap. Aku yang kedinginan dan mulai bosan bangkit, kutembus hujan mencari sesuatu yang hangat.

***

“ Ide Holy Ganz! ” kataku senang saat melihat temanku yang basah kuyup masuk, sudah setengah jam aku termenung sendiri disini.

“ Woi, Basti Baldy. ” Balas Ide.

“ Gimana menang gak? ” tanyaku sambil menawarinya sepotong roti bakar sisa yang langsung dilahapnya dengan antusias.

“ Mwenawng dwong, kwan hwujawn.” Katanya tak jelas.

“ Apaan? “

“ Pastilah menang, kan hujan. Gak ada sejarahnya kita kalah waktu hujan. Oh God I love Your rain.”

“ I hated rain, all gonna be wet. ” kata seseorang di pojok yang asik membuat lingkaran dengan asap rokoknya. Diluar hujan kembali deras.

“ Hey, Kozi Asgar!” Ide tersenyum lebar. “ Whats up dude?” aku baru menyadari kalau orang tersebut adalah filsuf kami tercinta Kozi Asgar yang sangat menyukai rokok gudang garam.

Kozi Cuma tersenyum sambil melemparkan bungkus rokoknya ke arah kami, kuambil sebatang, Ide mengambil batang terakhir.

“ Gimana si Neng Ti ?” Ide bertanya.

“ Haha, parah. Jangan pernah mau menunggu cewek saat hujan.” Kataku getir.

“ Perempuan adalah hujan.” Kozi mulai berfilosofis. Saat kutanya apa artinya iapun memberi kami kuliah 4 sks.

Diluar hujan masih deras dan memberi udara dingin, sedingin Kozy. Tapi untungnya kami memiliki Ide disini, walau ia yang paling basah kuyup diantara bertiga tapi ia tetap ceria dan memberi kehangatan semu kepada kami. Seperti entropi yang menghangatkan lubang hitam. Aku sendiri selalu, setiap saat, kuyu.

Akhirnya sisa hari itu kami habiskan dengan berdiskusi sampai tengah malam.

Ali_Buschen

Wednesday, February 06, 2008