Sunday, September 28, 2008

Chasing You

Chasing You

Frontline volunteers girls, mereka semua menyebut kami seperti itu. Kami mungkin dua orang cewek paling menarik di kelas tapi kami juga cewek paling disegani di kelas atau bahkan di seantreo sekolah. Hobi kami memang aneh, ketika cewek lain lebih memilih mengobrol remeh temeh tentang cowoknya si ini, gosip itu, Guru anu yang nyebelin, kami lebih memilih berbicara tentang filsafat, sosialisme, buku – buku resist dan film – film yang penuh dengan pesan tersembunyi. Kami sering membuat teori konspirasi kami sendiri. Satu lagi yang membuat kami disegani adalah kami berbeda dari cewek – cewek lainnya, jika mereka berebut duduk semakin kebelakang kelas, kami memilih duduk di barisan paling depan, face to face, head to head dengan guru. Karena itulah kami disebut frontline volunteers girls, gadis – gadis sukarelawan garis depan.
Namaku kimi, tapi anak – anak memanggilku bunda. Semuanya berawal dari dua orang goblok di pojok kelas yang mengenalkanku pada filsafat, semua buku, keruwetan dan rahasia dibaliknya. Sebagai katolik yang taat, aku sangat suka pergi kebaktian ke gereja dan hari sial itu tiba ketika aku berpapasan dengan dua orang pemikir yang sedang mabuk di depan gereja. Esoknya, saking kagumnya mereka pada kerajinanku pergi ke gereja, mereka mulai memanggilku bunda yang bukan maria. Anak – anak lain pun ikut memanggil bunda, walau tanpa embel – embel ‘yang bukan maria’.
Sayang semua itu tinggal masa lalu. Teman diskusiku sesama frontline volinteers telah pergi, pergi melupakanku. Sudah lima bulan sejak kami terakhir bertemu disebuah pameran buku, tak ada kabar darinya. Kontak terakhir kami adalah sesat menjelang UTS semester yang lalu.
Segala cara telah kucoba untuk mengembalikan kontak kami, ingin sekali ku berdiskusi kembali dengannnya. Hanya untuk berdiskusilah kurela terus menghubunginya tanpa kenal lelah. Saat – saat ketika aku yang lebih banyak bicara dan ia mendengarkan dengan setia lalu sedikit menanggapi kadang mendebatku, aku rindu itu. Walau sebenarnya ia kurang pintar, tapi ia cerdas, berpandangan nyeleneh dan selalu punya pemikiran yang menarik. Tumpul otakku tanpanya.
Berkali – kali ku sms tak pernah dibalas, ku telepon rumahnya selalu tak ada. Kucoba pergi ke tempat biasa kami pergi berdua hasilnya aku menemukan bayangannya sekilas, saat ku kejar ia sudah menghilang di tengah kerumunan orang yang berebut aksesoris obral. Kukirim email dan testimonial, hasilnya tetap nihil. Aku sampai membuat anagram yang kukirim lewat email untuk menarik perhatiannya. Agar ia mengontakku tapi semua itu sia – sia, atau anagramku terlalu sulit untuknya? Aku tak pernah tahu.
Strategi berikutnya adalah dengan mengajak seluruh anak kelasku gathering. Sejak kami semua lulus sma, kami jarang sekali bertemu satu sama lain maka kurancang sebuah pertemuan agar aku bisa bertemu juga dengannya. Ia memang datang, tapi di lima menit terakhir ketika aku telah pulang. Anak – anak bilang ia mencariku, harapanku tumbuh kembali. Setelah itu kucoba menghubunginya lagi, tapi kemajuan itu mundur kembali, damn. No hp-nya tak aktif, ku tanya anak – anak tak ada yang tahu, justru mereka yang mencoba mencari primadona kelas itu padaku.
Hal terakhir yang kulakukan untuk bertemu adalah mengirim sebuan gadiah novel di hari ulang tahunnya. Sengaja kutulus pesan rahasia di dalamnya. Usaha kali ini mendapat kemajuan lagi. Esok paginya aku menerima sms dari nomor tak dikenal. ‘ . . kejutan berupa buku tersebut telah berhasil membuatku tersenyum seharian penuh.Thanks.withlove.kayla.Kau tetap bunda-ku yang tanpa maria.’ Setelah itu ia kembali ditelan luasnya alam semesta. Tapi kurasa ia sedang membuat sebuah proyek, daya pikirnya tak berubah. Sekarang kucoba untu tidak terikat dengannya, getting unstuck, tapi aku tetap merindukan teman diskusiku tersebut. still chasing her.

Ali_buschen
Sunday, February 10, 2008

Kejutan Louie

Kejutan Louie

Namanya Ferdinan Luis, ia seorang muslim dari lahir dan warga negara Indonesia asli, asli orang sunda dengan sedikit darah ambon. Sudah 1 tahun kami hidup bersama di kontrakan ini, 8 orang lelaki beranjak dewasa. Kami hidup berdempetan dalam sebuah rumah sempit yang agak menyeramkan yang hanya punya 5 kamar untuk kami berdelapan. Semua orang memanggilnya Louie, dengan 4 huruf vokal dan harus 4 huruf vokal, tak boleh kurang apalagi dilebihkan dengan menambahkan huruf A. awalnya ia biasa dipanggil Ferdi, tapi teman kami Genta yang anak Jakarta lebih suka memanggilnya Louie dengan 4 huruf vokal karena terasa lebih keren saat dipanggil. Si empunya nama hanya diam, tanpa angukan setuju ataupun gelengan tak suka. Sama seperti biasanya, diam.
Louie orang yang pendiam. Jika ada lomba diam dalam rangkaian perayaan agustusan, kami yakin ia akan juara. Kadar pendiamnya semakin parah ketika ia menempati kamar belakang yang sempit sendirian, kami sampai tak merasakan kehadirannya karena ia memang jarang bahkan tak pernah berkumpul di ruang tengah. Karena itu kami membuat kebijakan memindahkannya ke kamar depan sekamar dengan Saddam anak Bandung yang sedikit “bocor”.
Dalam kesendiriannya dan dalam diamnya Louie berhasil meraih IPK terbesar diantara kami semua. Ia belajar dalam diam, mengerjakan tugas dalam diam, dan banyak hal lain yang dilakukan dalam diam. Teman bicaranya hanyalah pikirannya. Beberapakali Saddam mencoba berinteraksi dengannya dan hasilnya tak bisa dibilang mengecewakan walau tak bisa dikatakan berhasil juga.
Suatu ketika kami bermain futsal bersama, Toni kapten tak resmi kami memilih pemain yang menjadi starter line up dan Louie dengan segera tak terpilih menjadi starter. Mereka yang tak terpilih juga mengajukan protes, merasa ada diskriminasi ketika semua anak Bandung menjadi starter dan Louie hanya diam beranjak ke pojokan lalu duduk. Sepanjang permainan beberapa pergantian pemain telah dilakukan dan Louie belum mendapat kesempatan bermain, tapi ia tetap diam di pojokannya sampai Iduy kiper kami merasakan ada kejanggalan dan barulah Louie bermain. Lima menit permainan yang singkat dari Louie dan semua sepakat, ia tak punya bakat bermain futsal.
Louie sangat suka mandi. Kerjaannya selama di rumah mudah ditebak. Tidur, mandi, belajar lalau pergi entah kemana. Biasanya kami makan di ruang tengah, membeli nasi bungkus lalu makan bersama di ruang tengah, tapi Louie selalu makan di warung nasi. Mungkin ia malas mencuci piring dan gelas atau mungkin ia lebih suka makan tanpa ada yang mengajaknya bicara dan kemewahan diam tersebut hanya bisa ia dapatkan di warung nasi. Makan sendiri tanpa ada yang mengenalnya dan diam. Memang saat makan kami digabungkan dengan saat diskusi, segala pembicaraan ramai diperdengarkan dan semua itu baru berakhir jika Iduy memulai sesi curhatnya yang biasanya berisi tentang kegagalannya dalam percintaan, saat itu barulah kami bubar atau makan dalam diam.
Louie tak pernah mencuci di rumah. Semua orang mencuci bajunya sendiri di rumah, kami biasa berebutan tempat mencuci dan jemuran, tapi Louie dengan entengnya memasukan semua pakaian kotornya ke trash bag lalu dibawa ke laundry.
Setahun tinggal bersama barulah kami mulai mengerti Louie, atau setidaknya menurut kami kami sedikit mengerti Louie. Louie orang yang cuek, bukan kata kami tapi menurut seorang cewek senior kami. Karena cueknya Louie tanpa rasa berdosa melakukan banyak “kejahatan kecil”. Ketika kami semua mengikuti sebuah seminar yang penting, Louie hanya melakukan registrasi lalu pergi entah kemana yang belakangan kami ketahui ia tidur di mesjid. Setelah itu karena ia melakukan registrasi paling awal ia berhak mendapatkan door prize padahal kami yang mengikuti seminar dengan berjuang keras melawan kantuk sangat menginginkan hadiah tersebut dan gagal.
Postur tubuh Louie kurus, tak terlalu tinggi tapi tidak juga pendek. Kulitnya putih, rambutnya dipotong pendek tak jelas dan sejauh yang kami perhatikan rambutnya selalu pendek tanpa kami pernah adar kapan ia mencukur rambutnya, matanya cokelat dan wajahnya tak terlalu menyiratkan kegembiraan walau tidak juga kesedihan. Saat ia bicara, saat-saat yang langka, suaranya rendah dan tidak berat tapi juga tidak cempreng. Louie bicara secukupnya lalu pergi entah kemana. Dengan postur kurusnya kami terkejut ketika ia ternyata mengikuti klub fitnes dan rajin berolah raga, kami baru sadar ketika kami menemukan kotak bekas susu pembentuk tubuh pria di tong sampah kami.
Louie pun ternyata normal seperti juga laki-laki lain di rumah ini. Ia menyukai seorang gadis. Saat ketika Louie banyak bicara adalah ketika kami mengetahui ia menyukai seniornya di kampus. Saat itu kami mengobrol banyak di ruang tengah, Louie berbicara cukup lama sampai Iduy mulai mencoba memberi tips-tips cintanya yang, yang kebanyakan gagal, dan kami pun bubar. Sejak itu Louie tak pernah bicara banyak lagi. Trauma karena Iduy.


belum selesai . . .

TIDUR

TIDUR
Rambutku kini sudah sebahu, aku tak peduli mau seberapa panjang rambutku, tapi ibuku peduli. Dengan sedikit bentakan akhirnya aku berangkat ke tukang cukur, tukang cukur langganan ayahku. Tukang cukur yang dulu sering kudatangi bersama ayah sewaktu berumur 5 tahun dan tak pernah kudatangi lagi sampai saat ini.
Aku terkejut ketika tiba disana. Bertahun-tahun tak datang tampilan luarnya tetap sama, tapi pencukur yang sedang bertugas di dalam telah beruban semua dan para pelanggan setia yang sedang menunggu mendapat giliran ubannya lebih banyak lagi. Semua orang menoleh kepadaku ketika aku masuk dan menggoyangkan bel yang terpasang dipintu, tampak kecewa ketika yang masuk seorang anak muda urakan.
Sebenarnya aku ingin langsung pergi ketika melihat keadaan didalam tapi senyuman seorang tukang cukur yang paling tua mengingatkanku pada masa kecilku, senyuman yang sama seperti dulu ketika aku masuk kesana digendong oleh ayahku. Memaksaku untuk mendudukan pantatku di kursi plastik di pojok ruangan mencoba menjaga jarak sejauh mungkin dengan orang-orang penuh masa lalu. Sebuah kemunduran pikirku, dulu kursi tunggu disini adalah sofa tua yang telah jebol di beberapa bagian tapi masih sangat nyaman untuk diduduki, tampaknya sofa tersebut tak kuasa melawan waktu.
Setelah menunggu dengan bosan selama setengah jam, mendengarkan orang-orang tua mengobrol saling menanyakan kabar si ini dan si itu yang anehnya semua orang tua disitu mengenal semua kenalan orang tua lainnya, sesempit itukah dunia jaman dulu kala? Akhirnya tiba giliranku untuk mendapat servis.
Hanya lima menit sejak duduk di kursi panas tersebut dengan rambut diotak-atik aku langsung tertidur. Aku punya kebiasaan parah dengan cepat sekali tertidur. Semua itu tidak dilakukan dengan tak sengaja, tapi aku memang selalu merencanakan untuk tidur begitu ada kesempatan.
Keterkejutanku bertambah ketika cukuran selesai, potongan rambutku kini sangat modis, untuk ukuran tahun 80-an. Rambutku tampak seperti batok kelapa, dengan bagian bawah tercukur pendek tipis mengelilingi kepalaku dan bagian atasnya masih cukup panjang untuk dapat disisir dengan rapih. Aku menyesal memilih untuk tertidur saat dicukur oleh opa-opa.
Satu lagi yang membuat ku terkejut adalah beliau masih ingat padaku. “ kemana aja dek? dah lama banget ngak kesini. Mana si bapak? ” tanyanya sambil mnerima uangku. Dia bilang dulu aku masih TK dan tak pernah segondrong ini, sekarang sudah kuliah dan gondrong parah. Tapi ada satu persamaan dulu dan sekarang, cepat tidur kalau dicukur katanya sambil tertawa diikuti tawa para pencukur veteran lain lalu tawa seluruh pelanggan tua yang ada disana. Sial, aku hanya bisa tersenyum cengengesan sambil sesegera mungkin beranjak dari tempat nostalgia tersebut.

Satu lagi tempat tidur favoritku adalah bis. Sependek apapun jarak yang ditempuh, jika perjalanan tersebut menggunakan bis maka aku akan tertidur dengan cepat. Aku semakin sering tertidur dalam bis karena kampusku berada di luar kota, sangat jauh dari rumahku yang ada di pusat kota dan angkutan termurah menuju kesana adalah bis kota.
Pagi-pagi udara terlalu dingin dan aku selalu merasa kurang tidur semalam membuatku benar-benar menikmati jam tidur dalam bis. Siang-siang lalu lintas selalu macet, panas dapat diatasi dengan naik bus AC walau tiketnya dua kali lipat. Tidur adalah jalan terbaik untuk lepas dari kewajiban moral berdiri jika ada ibu-ibu tua atau ibu hamil atau ibu menggendong anaknya atau semua orang tua yang berdiri sedangkan anak muda yang masih kuat duduk. Apalagi di tengah hari selalu banyak penumpang kategori tersebut yang naik bis kota. Sore-sore udara sungguh nikmat, angin sepoi-sepoi kadang gerimis ditambah kelelahan sehabis kuliah atau rapat organisasi tidur dikala itu adalah kenikmatan perjalanan.
Ada satu hal yang bisa membuatku kuat melek dalam bis. Pulang bersama gadis Medan anak jurusan psikologi yang itu. Bersamanya aku kuat mengobrol dari naik hingga turun nanti, saat-saat bersamanya sangat mubadzir jika dibuang untuk tidur. Ketika ia tak kuat menahan kantuk lalu tertidur, aku tetap terjaga menyediakan bahuku sebagai bantal baginya. Saking gembira dan tegangnya juga menjiwai peran sebagai bantal aku rela melepas jam tidurku.
Kini aku tak punya lagi jam tidur di bis menuju kampus, sejak bapakku membelikanku sepeda motor. Sepeda motor bekas, yang kata orang bekas tabrakan, aku tak peduli. Motor tersebut tetap kuat mengantarkanku ke kampus, pulang pergi bersama gadis Medan.

Jam-jam kuliah adalah waktu lain untuk teridur. Mendengarkan dosen berpidato selama 4 sks sungguh memuakan, lebih baik mengambil tempak duduk di bawah AC lalu pergi kesana.
Tak semua mata kuliah bisa kutiduri. Beberapa dosen mengusir dengan cara yang memalukan jika kau tertidur di kelasnya. Saat-saat itu aku akan melek tanpa mengantuk sedikitpun. Jika tak kuasa melawan, mengarang sebuah prosa, puisi, atau meneruskan proyek novel adalah pilihan alternatif.
Kuliah adalah saat yang berat, waktu-waktu itu sangat tidak enak untuk tidur. Tanggung jawab moral kepada orang tua yang susah payah mengirimku kuliah membuatku menyisihkan waktu tidur untuk serius belajar di kelas. Belajar bagiku hanya mungkin dilakukan di kelas, di luar itu sangat sulit terlalu banyak gangguan dan godaan.

Saat favorit untuk tertidur adalah hari Jum’at pukul 12 siang. Dalam seminggu hanya di hari itu aku dapat tidur siang. Mendengarkan khotib memberi nasihat dan petuah tentang ketaqwaan membuat mataku cepat menutup. Sambil duduk bersila di pojok ruangan, di bawah kipas angin benar-benar sebuah kenikmatan.
Tidurku saat sholat Jum’at masih lebih baik daripada teman-temanku. Mereka datang bersama denganku, lalu pergi ke halaman masjid, makan-makan, merokok, mengobrol dan mengambil wudhu saat iqomah dengan panik dan berebut lapak untuk sholat. Berbeda denganku, datang segera ambil wudhu, masuk masjid dan pergi kepojokan dengan cepat, ketakutan singgasanaku diambil orang lain.
Beberapa teman mengomentariku sok alim, tak tahu mereka apa yang sebenarnya kulakukan ketika masuk masjid dengan segera. Aku tak peduli apapun komentar mereka, yang penting adalah selalu manfaatkan waktu-waktu terjepit untuk tidur. Aku tak pernah memanfaatkan waktu senggang untuk tidur, bagiku itu mubadzir. Waktu kosongku kebanyakan diisi dengan menulis, membaca, berdiskusi, dan membuat keributan, membuat masalah.
Aku seorang penulis, jurnalis dan pembuat keributan. Hampir tak mempunyai waktu kosong.

belum selesai. . . .

Memoir Kayla

Memoir Kayla
Akhir-akhir ini suasana kota semakin memburuk, di akhir pekan kota memang penuh sesak oleh para pelancong dari luar kota yang secara langsung menambah pendapatan kota ini. Tapi, hal itu membuat kemacetan yang luar biasa dari hari Jum’at sampai Minggu malam. Buruknya tata lalu lintas kota yang merupakan warisan jaman kompeni gagal menanggulangi meledaknya kendaraan yang lalu lalang setiap akhir pekan.
Minggu sore ini menjadi puncak segalanya, ketika klub sepak bola kebanggaan warga kota kalah dari musuh bebuyutannya. Ribuan supporter yang kalap karena papan skor tidak sesuai harapan membanjiri jalanan yang sudah macet total. Seakan belum puas merusak stadion kebanggaan yang memang telah rusak, mereka bermaksud mempermak wajah jalanan juga.
Di sisi lain jalan ribuan polisi SSK pun telah siap berjuang dengan pentungan, gas air mata dan water cannon, mencoba memadamkan api dengan api. Perang terbuka di depan mata. Belasan mobil, kaca-kaca bangunan, rambu lalu lintas, pot-pot besar pinggir jalan menjadi korban. Paramedis di palang merah kota pun menjadi sibuk menambal puluhan kepala suporter dan korban tak berdosa yang bocor, tidak sedikit pula yang harus pulang dengan tangan dibebat atau tubuh penuh perban dan obat merah.
Tapi bagi Kayla hal itu justru menjadi tantangan. Sang calon dokter yang juga suporter setia itu dengan semangat mencoba mengobati para pasien dadakannya, walau sebagian korban merasa lebih baik langsung pulang daripada harus ditangani junior doctor yang satu itu. Yang dengan senyum ceria menyutikkan bius, menjahit, lalu memberi pain killer seperti sedang bermain dokter-dokteran. Tak ada ekspresi ngeri sedikit pun di wajahnya yang cantik.
Esoknya tak lebih baik. Kini ribuan buruh yang membanjiri jalanan yang tetap macet total. Mereka berdemo tentang perda yang membuat mereka hanya bisa memegang upah sampai tanggal 5 tiap bulannya. Saking sedikitnya uang yang mereka terima dan besarnya utang bulan lalu yang harus dibayar. Pemerintah pusat pun ikut meramaikan kesulitan buruh-buruh tersebut dengan menaikkan harga BBM.
Saat sarapan Kayla melihat ayahnya dalam tekanan yang hebat. Di pengujung masa baktinya sebagai walikota, ternyata terlalu banyak yang lepas dari kendalinya. Keadaan diperparah dengan serangan dari lawan politiknya menjelang pemilu tahun depan, koalisi partai oposan berhasil memobilisasi kelompok pencinta lingkungan untuk memprotes kebijakan ayahnya membangun komplek stadion olahraga di pinggiran kota dengan mengorbankan ratusan hektar sawah. Siang ini Ia harus menghadap sidang anggota dewan kota untuk mencoba meyakinkan mereka ia punya alasan yang baik.
Banyak orang disekelilingnya mencoba membantu, walau Kayla yakin ada sesuatu di balik itu. Para penasihatnya dari kemarin terus bekerja menyusun suatu jawaban yang baik dari masalah tuannya tersebut. Kayla harap ayahnya mempunyai jawaban itu dan jurus-jurus lobby yang dulu membawanya ke rumah dinas ini.
***
Sebagai anak dari tokoh politik paling disegani di kota ini, Kayla selalu mendapat yang terbaik dalam segala hal. Bagi ayahnya ia adalah permata terbaik, dibanding saudara-saudaranya ia memang paling cemerlang. Wajah cantiknya sangat mirip dengan ibunya. Selain itu Kayla sangat cerdas, selalu juara dan dengan semua potensinya ia selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Gabungan kuasa ayah, wajah cantik, otak cerdas, dan pribadi yang selalu ceria membuatnya mendapatkan perfect world.
Ayahnya selalu menginginkan yang terbaik bagi Kayla. Sekolah dari SD sampai SMA selalu di sekolah favorit. Saat ia memutuskan untuk menjadi seorang dokter, dengan mudah ia masuk ke fakultas kedokteran di universitas terbaik di negeri ini. Sumbangan 200 juta tak ada artinya bagi sang ayah, yang penting anaknya yang cantik senang dan bahagia.
Kayla sangat senang olah raga. Hari ketika ia pertama kali menonton sepak bola di stadion bersama kakeknya sewaktu kecil menjadi hari yang tak pernah terlupakan bagi Kayla. Hingga kini ia masih mempunyai harapan untuk bisa menyaksikan kembali tim kebanggaan kota ini langsung di stadion, tapi semenjak ayahnya naik menjadi walikota hal tersebut menjadi hal terlarang baginya.
Kayla pun senang dengan politik. Sebenarnya ia adalah seorang perempuan yang penuh idealisme. Mungkin karena sedari kecil telah terlalu banyak doktrin yang masuk ke otaknya dari sang kakek, mantan menteri dalam negeri. Kebecian kakeknya akan liberalisme dan kapitalis barat bersemayam kuat dalam pikiran Kayla.
Saat hendak ke rumah sakit siang itu, asisten junior ayahnya menambah beban pikiran di otaknya. Dia berkata sebaiknya Kayla pergi ke luar negeri sebelum ayahnya benar-benar jatuh. “ Ini pesan ayahmu. Mungkin meneruskan studi ke Tokyo selama beberapa tahun baik untukmu. Segalanya telah disiapkan, nanti sore ada jadwal ayahmu untuk bicara denganmu ”.
“ Adik-adikmu telah dipindahkan semua ke ibukota, semua tinggal di rumah nenekmu. Sore ini mereka berangkat. Ayahmu hanya ingin yang terbaik bagi kalian semua. “ katanya menambahkan.
Sore itu penuh peluk dan tangis, semua orang menangis. Pada akhirnya semua orang pergi hanya tersisa ibunya. Sebulan lagi tiba giliran Kayla untuk pergi melihat dunia.
***
Sejam setelah mendarat di Narita, Tokyo dilanda badai. Salju turun sangat lebat disertai angin kencang yang arahnya berubah-ubah, berputar tak karuan. Kayla terjebak semalaman di bandara. Bukan permulaan yang bagus di negeri baru.
Sebulan berada di Tokyo, Kayla mulai bosan. Keberadaan Jepang sebagai anggota G-8 membuatnya muak, negeri ini mulai terlalu kapitalis dengan korporasinya dan warganya benar-benar gila kerja. Budaya barat telah merasuki negeri ini terlalu jauh, walau budaya lokal tetap bisa dinikmati. Banyak kawan-kawan Jepangnya tampil berwarna-warni menyakiti mata, kontras dengan ekspatriat lainnya sesama foreign student yang kebanyakan berasal dari negara-negara di Afrika. Memang ia suka dengan tempat-tempat eksotisnya, tapi penduduk di Tokyo mulai memasuki tahap materialis yang parah, mereka terus bekerja demi kebahagian dunia. Jelaslah bahwa para professor di sana sebagian besar penganut Darwinisme dan determinis yang taat.
Kayla sendiri tidak setuju dengan Darwin, menurutnya evolusi hanyalah rekayasa Darwin. Sejak dibuat sampai sekarang alam dan isinya sudah kompleks dan tidak ada perubahan dari makhluk sederhana menjadi rumit seperti saat ini, yang berubah adalah teknologi untuk menelitinya.
Puncak kegalauan Kayla saat ia dikirim ke Hokkaido, ke sebuah desa di ujung Jepang. Disana ia melihat sisi lain kejayaan ekonomi Jepang, sisi gelap Jepang. Bahkan di negara maju seperti Jepang pun desa tersebut tetap gelap di malam hari, tak ada listrik yang mengalir kesana pada malam hari. Lebih parah lagi lahan pertanian yang selalu dihancur leburkan badai, membuat banyak anak kelaparan dan kurang gizi juga berpenyakit, untuk itulah Kayla dikirim kesana.
Fasilitas kesehatan yang tersedia disana hanyalah sebuah klinik dengan seorang dokter relawan berusia 60 tahunan dan setengah lusin perawat relawan yang belum lulus sekolah keperawatan atau bahkan belum pernah sekolah disana. Klinik tersebut tidak memiliki kelengkapan yang layak untuk memberikan pelayanan kesehatan yang standar.
Tapi tetap ada hal yang membuat Kayla terkesan. Dengan kondisi alam yang memusuhi seperti itu, warga disana tetap bekerja keras pantang menyerah. Mata pencaharian warga umumnya berburu dan bertani ketika musim panas tiba. Mereka pun mendidik anak-anaknya agar jangan pernah berputus asa karena dewa mereka selalu melindungi. walau mungkin tak mendapat perhatian dari pemerintah pusat.

Kembali ke Tokyo Kayla terkejut. AS dan sekutunya siap melancarkan operasi teluk babi II ke Kuba. Bush yang merasa jumawa karena berhasil menggulingkan Saddam Husen dalam operasi badai gurun II coba mengulanginya dengan menggulingkan Fidel Castro.
Hal ternekat pun dilakukan Kayla. Sebagai anggota persatuan dokter junior internasional ia berhasil meyakinkan otoritas PBB untuk menjadi Volunteer palang merah. Pikirnya tentu sangat menyenangkan dapat berpartisipasi dalam perang sungguhan bukan perang antar suporter, orang-orang yang kena tembak sebenarnya, peluru asli bukannya batu dan botol minuman. Dirinya tetap akan aman karena dilindungi undang-undang internasional tentang paramedis ditambah pula adanya pasukan perdamaian PBB. Paling penting dari semua diatas menurut Kayla adalah dirinya bisa keluar dari kenyamanan Tokyo dan berpetualang di Amerika Tengah.
Teman-temannya mencoba melarangnya, tapi Kayla bersikeras inilah saatnya untuk menggunakan kemampuan dokternya, apalagi konsentrasinya adalah bedah sesuatu yang sangat dibutuhkan di medan perang. Inilah saatnya keluar dari dunianya yang sempurna dan mencari tantangan baru dengan nyawa taruhannya.
***
Setelah briefing dan grouping di Miami, ia berangkat ke Kuba sebagai Red Cross Volunteer. Dalam kelompoknya ada 8 orang, 2 orang dokter, 3 perawat, seorang portir dan 2 orang pasukan perdamaian PBB yang menjaganya.
Seorang dokter lainnya adalah dokter bedah tulang senior dari Swiss, mentor yang bagus pikir Kayla, ia akan banyak belajar darinya. Seorang portir berkewarganegaraan Meksiko yang selalu tersenyum seakan hendak menuju surga bukan menuju neraka pertempuran. Seorang prajurit baru lulus akademi dari Jerman yang kelihatan terlalu percaya diri dengan senjatanya, meskipun senjata itu takkan pernah ditembakkan dan pemimpin mereka. Seorang letnan dari Pakistan, Ahmad El Maghribi, seorang letnan yang telah berpengalaman bertempur bersama tentara perdamaian PBB di Irak, Afghanistan, Somalia, Lebanon dan Maroko, tempat terakhir dimana ia menjadi pahlawan dan mendapat julukan El Maghribi.
Mereka mendarat di Santiago de Cuba. Sudah dua minggu operasi dilancarkan dan AS masih belum dapat menyerang Havana dari darat. Ribuan tentara revolusi tetap gigih berjuang agar aliansi AS tetap berada di garis terluar, walau beberapa pos pertahanan di pesisir pantai mulai dapat dikuasai AS.
Tugas pertama Kayla adalah menolong seorang karmerad yang tertembak di bahunya, hanya 15 cm diatas jantungnya. Tapi sialnya, lukanya parah. Luka karena peluru ujung lunak dari senjata model M – 16 Carbine. Peluru ini menyebabkan luka lebih parah dari peluru ekspansif. Berbeda dengan peluru tajam, sebuah tembakan akan membuatmu tak berkutik. Kamu memang terluka dan menjadi korban, tapi takkan terbunuh kecuali mengenai organ vital. Peluru ini sekali masuk, bahumu hancur karena peluru ini memuntir di dalam dagingmu.
Kayla bingung, pelurunya dalam dan ia kesulitan mengeluarkannya apalagi ruang operasi disini hanyalah sebuah tenda berbau pengap. Seluruh teori yang ia dapat dibangku kuliah menjadi nol, keadaan saat perang tak memungkinkan untuk mengaplikasikan teori ternyata. Yang bisa ia lakukan hanyalah memberinya morfin sebanyak mungkin. Karena orang sekarat takkan merasa sakit jika harus mati karena overdosis, bahkan ia tak tahu orang sekarat bisa mati overdosis. Setelah berjuang berjam-jam akhirnya ia dapat mengeluarkan pelurunya dan menutup lukanya yang mengangga.
Subuhnya Kayla mendapat tugas ke Moncanda, menuju sebuah barak bekas tentara Batista saat perang revolusi tahun 1959. Jalan menuju kesana melewati beberapa desa di dekat garis terdepan tentara amerika. Desa-desa mulai dipenuhi korban-korban tentara Kuba.
Di luar desa San Fernandez, kebejatan tentara Amerika yang frustasi tak kunjung menembus Havana mulai terlihat. Rombongan berbaju putih dengan bendera palang merah pun mereka serang. Sebuah mortir jatuh hanya 5 meter dari rombongan Kayla yang berjalan berbaris di perempatan Los solicitacion, mortir yang langsung menghabisi portir yang berjalan paling belakang. Letnan Ahmad El Maghribi sudah memberi tanda mereka hanyalah paramedis dan tidak membalas serangan, tapi berondongan senapan mesin mulai mengarah kepada mereka.
Kayla sudah tiarap sedari tadi, sejak pecahan mortir dan batu melukai wajahnya dan membuat pendengarannya berkurang. Satu persatu rekan-rekan setimnya gugur. Disebelahnya berbaring telungkup dalam genangan darah Mary Bloemkool, perawat dari Afrika Selatan, dan tiba-tiba beban berat menindihnya. Adrian Stranzl dari Jerman jatuh dengan kepala penuh darah, dengan refleks ia mendorong tubuh tersebut ke pinggir. Kayla tak dapat melihat dengan jelas, hanya kilatan senjata api dan bercak merah darah di baju putih rekan-rekannya. Terdengar suara Letnan Ahmad menyuruhnya berlindung dan dalam kepulan asap ia melihat Jan Scheneider menembakkan senjatanya ke arah reruntuhan di atas bukit.
Sebuah tangan menariknya, sambil merunduk ia berlari. Baru kemudian ia tahu, Dr. Philip lah yang menariknya untuk bersembunyi. Kengerian berlanjut ketika tiba-tiba Dr. Philip tersungkur, dari pelipisnya mengucur darah segar. Perasaan mual, marah, dan takut bercampur.
Kayla hanya ingat dia berteriak sebelum semuanya menjadi gelap. Tentara macam apa yang mengerahkan penembak jitu untuk menjatuhkan paramedis dalam sebuah pertempuran. Mereka telah melanggar selusin konvensi dan hukum internasional.

Saat membuka mata, yang pertama dilihatnya adalah letnan Ahmad dengan kepala dan badan tak berbaju yang terbalut bebat, ia berbaring di dipan di sebelahnya. Ia merasa panas disekitar pipinya, ketika diraba pipinya pun telah tertutup perban.
Kayla menangis. Dalam timnya hanya tersisa ia dan letnan Ahmad. Letnan Ahmad bercerita ia mendengar teriakannya dan menemukannya telah terbaring disebelah Dr. Philip, dengan sekuat tenaga sambil menghindari tembakan, sang letnan membawanya ke tepian sungai. Beberapa saat setelah itu tentara perdamaian PBB tiba. Sekarang mereka sedang berada di markas tentara perdamaian di Santiago bersama selusin tentara perdamaian lainnya yang juga terluka akibat serangan tentara sekutu.
Kedutaan Indonesia menjadi panik ketika mendengar ada warganya yang ikut bertempur. Dalam sekejap beberapa birokrat telah berkumpul di Santiago untuk menyelamatkannya dan mencoba membawa Kayla keluar dari medan perang.
Letnan Ahmad mengantarnya sampai ke pesawat, hingga Kayla terbang pulang ia tetap bertanggung jawab untuk melindungi katanya ketika Kayla menolak diantar. Dengan susah payah dibantu beberapa prajurit karena nyaris semua tulangnya patah dan retak sang letnan mengantar sampai hangar dan menangis sambil melambaikan tangan. Kayla ikut menangis didalam pesawat teringat kata-kata terakhir sang letnan padanya, “ maaf aku gagal melindungi kalian semua. “
Hanya 2 hari Kayla bertugas di medan perang, 48 jam setelah kejadian itu Kayla telah berada di atas kursi roda di bandara Soekarno – Hatta. Sedih kehilangan teman-teman yang baru dikenalnya dan merasa dikhianati idealismenya.
***
Tragedi Perempatan Los solicitacion. Tentara Amerika menyerang paramedis dan tentara perdamaian PBB. Judul berita yang Kayla baca di Koran esok harinya. Ayahnya menemani Kayla sarapan. Adik-adiknya telah pergi sekolah dan ibunya sedang mengantar adik-adiknya.
Popularitas ayahnya kembali naik setelah Kayla muncul di tv, “ sukarelawan medis Indonesia diserang Amerika “ sampai kini beritanya terus diputar disetiap news session di semua channel. Ayahnya tersenyum kepada Kayla yang coba balas tersenyum tapi pipinya kembali perih.
Sebulan setelah serangan pertama, Amerika menarik mundur pasukannya. Tekanan dunia internasional dan juga karena frustasi tak kunjung menguasai Havana membuat operasi teluk babi II gagal seperti operasi sebelumnya.

Tuesday, September 23, 2008

baju,mudik,lebaran

Baju, Mudik, Lebaran
Apa yang tejadi jika kamu mendapat 100 sms gratis tapi harus dihabiskan dalam waktu 1 jam? Banyak teman- teman saya menghabiskannya dengan ngasih sms sok bijak, sok nasihat padahal belum tentu dia juga ngelaksanain smsnya tersebut dan saya juga gak pernah baca itu nasihat sampai beres, bahkan sms nasihat itu cuma menuhin inbox sms saya, sebelum akhirnya saya hapus. Beberapa yang lain menggunakan sms itu buat ngasih tahu kalau ultraman udah meningal dan digantikan oleh teman saya yang namanya Godzie.
Saat ini saya kaget ketika ada sms dari provider yang kartunya saya pake memberi kabar gembira, saya dapat 100 sms gratis! Saya langsung pakai itu sms gratis buat sms temen saya yang lebih tua satu tahun dari saya, orang-orang manggil beliau Inan. Tadi Inan nasih tau saya, sms saya, bahwa lebaran sebentar lagi dan mau minta maaf ke saya. Saya balas dia dengan sms selamat lebaran juga. Inan orang Sukabumi bukan orang Bandung, karena itu saya tanya, kalo beli baju lebaran yang murah dimana? Di Upi ada gak? Soalnya dia kuliah di Upi. Tapi saya tak mengharapkan jawaban yang benar, karena saya sedang bercanda. Sedang sms sambil bercanda.
Beberapa menit kemudian ia membalas sms saya, kalau mau beli baju murah di pasbar, katanya. Pasbar itu adalah pasar baru. Terus dia bilang, di Upi ada yang jualan baju, tapi kalau partai besar gak ada. Saya balas lagi smsnya dengan bilang, saya gak mau beli baju, udah kebanyakan baju saya, susah nyucinya. Terus saya mau beli baju lebaran, bukan baju partai. Saya mau milih partainya Amin Rais kalau pemilu. Ada bajunya gak ya? Dan dia tak pernah membalas sms saya lagi, ketahuan lagi dibecandain.
Karena gak dibales sms saya oleh Inan padahal sms gratisnya masih banyak, saya ganti sms temen saya yang lain. Namanya keke, yang ini umurnya sama dengan saya. Saya sms sama dengan yang saya kirim ke Inan, beli baju lebaran yang murah dimana? Dibalas beberapa menit kemudian dengan bilang, mau beliin baju buat Keke ya? Kegeeran dia. Dia juga menanyakan, yang lebih lama tinggal di Bandung siapa? Saya baru inget, Keke rumahnya di Bandung coret, di Cimahi.
Terus saya bilang, gak akan beli baju koq, apalagi beliin kamu. Baju saya udah kebanyakan, susah nyucinya. Saya tanya juga di Upi ada yang jualan baju gak? Soalnya seperti juga Inan, Keke kuliah di Upi. Selang beberapa menit sms balasannya sampai. Meneketehe, katanya ngikutin artis extravaganza. Di DT banyak baju murah, di Robani DU juga banyak. Keke kayaknya suka belanja baju muslim. Tapi saya gak peduli, soalnya saya gak akan beli baju muslim atau baju lebaran. Lalu saya tanya, kalau mau beli tiket kereta ke Medan dimana? Koq di stasiun Kiara Condong gak ada?
Agak lama baru sms balasannya tiba. Dia bilang gak tahu beli tiket kereta ke Medan dimana, terus dia ngatain saya orang aneh, padahal saya bukan orang aneh tapi orang gila. Dia bilang lagi ngabisin bonus sms ya? Ternyata bisa juga dia curiga dikerjain oleh orang yang gak ada kerjaan. Saya bales lagi, bukan begitu Keke, Reza (ini temen saya yang lain, beda umurnya 4 tahun dengan saya) mau mudik ke Medan tapi dia pengen naek kereta api, jadi saya tanya kamu. Sms balasannya datang cepat, ngapain Reza tanya kamu buat beli tiket? Emang Reza lagi di Bandung ya? Kirain udah gak di Bandung, ribet banget naek kereta ke Medan, katanya. Apa Keke gak tahu, kalau gak ada rel kereta dari Bandung ke Medan? Terus saya bales lagi, (soalnya pulsa gratis saya masih banyak) saya juga gak tahu Reza lagi dimana. Kirain kerja di Bank Mandiri, saya gak tahu, soalnya saya nabungnya di Bank Mandiri Syariah. Saya tak lupa bilang, owh iyah, saya udah tahu gak ada kereta ke Medan, relnya kepanjangan. Terus saya sms juga, Keke di Cimahi lebarannya kapan? Di rumah saya mah masih bulan depan, kenapa ya? Dia bales kemudian, di rumah Keke mah taun depan, sekalian milad Keke. Oooh, saya balas. Di saya mah bulan depan, bulan Syawal.
Di bales lagi sms saya, stress kamu. Udah ah, Keke ngantuk mau tidur. Saya bales lagi, ya udah tidur aja, gak usah mimpi naek kereta ke Medan, walau itu kereta baru ada dalem mimpi doang. Kalau mau ketemu saya juga jangan dalam mimpi, besok aja ketemu di deket kampus yang jadi sarang burung. Ternyata dia belum tidur juga dan malah sms saya, gilaaaaaaaaa, stresssssss, gak mau ketemu kamu, hehehe. Saya juga ikut tertawa baca sms dia, saya memang gila dan saya stress kebanyakan sms gratis.
Setelah Keke stress sendiri saya tanya-tanya, saya mulai nyari korban baru, saya cari mangsa tersebut di phone book hp saya. Trus saya jadi inget temen saya yang lain, Ima Mango. Temen saya ini kuliahnya di ITB dan beda 2 tahun dengan saya. Saya tanya dengan pertanyaan yang sama yang saya ajukan ke kedua temen saya sebelumnya, bukan karena saya gak kreatif tapi biar adil gak ada yang merasa diistimewakan, nanti mereka berantem kan saya juga yang susah.
Pertanyaan pertama saya sedikit modifikasi, karena Ima tinggal di Bandung, Bandung kota bukan Bandung coret. Ima, kalau mau beli baju murag dimana? Di ITB ada yang jualan baju gak? Di Unpad mah ada lo.
Kemudian dia balas dengan serius, di ITB ada baju murah. Tapi kalau mau baju lebih murah ke Gede Bage atau di Yogya kepatihan ada diskon juga. Saya rasa dia belum sadar dibecandain, terus saya bales. Ima, bukan baju murah yang saya cari tapi baju murag. Dalam bahasa Indonesia murag artinya jatuh.
Barulah kemudian Ima sadar, saya gak serius nanya baju murah buat lebaran. Dia lalu memaki saya. Orang gila, orang stress, orang aneh. Sial dia pake combo attack buat memaki saya, tapi saya orang yang sabar, apalagi lagi seneng dapet 100 sms gratis. Saya gak tanggepin combo attack-nya.
Saya beri dia pertanyaan kedua, Ima kalo beli tiket kereta ke Medan dimana? Koq di stasiun Kircon gak ada? Dia bales dengan galak. Mana tahu beli tiket kereta dimana. Pih, huek cuih, katanya. Bahasa cina kah? Saya gak tahu artinya (sebenernya saya pura-pura gak tahu). Trus saya bilang, bukan begitu Ima,Reza mau pulang ke Medan, tapi dia pengen naek kereta api. Ima bales lagi dengan cepat. Gak peduli. Stress kamu. Saya jadi ketawa sendiri.
Saya beri Ima pertanyaan selanjutnya. Ima di rumah lebarannya kapan? Di rumah saya lebarannya baru bulan depan, kenapa ya? Dia bales lagi dengan cepat. Saya gak tahu kenapa Ima kalau bales sms suka cepet, gak kayak Inan atau Keke. Besok lebarannya, sekarang lagi takbiran! Katanya singkat. Saya kaget juga dibales seperti itu, terus saya sms lagi. Oooh, selamet lebaran ya, jangan lupa salam tempel buat saya, sisain kupatnya juga. Terus saya bilang, di rumah lebarannya bulan depan, bulan Syawal. Saya mau mudik dulu, ke tangkuban perahu, negliat kawah.
Ima mulai semakin stress dikerjain, dia bilang, terserah. Hebat punya kawah pribadi, saya punya goa sendiri, bisa digali tiap hari, katanya. Saya bales lagi, saya juga punya goa sendiri, tapi dicolong Jepang. Goa Jepang yang di Dago Pakar itu yang bikin kakek saya, tapi diambil Jepang, jadi namanya goa Jepang, harusnya Goa Wijaya, nama kakek saya. Dia bilang terserah sekali lagi, ditambah kata-kata garing, ngajak gelutnya? Terus, saya sms lagi. Ima ibu saya nanya kalau bikin nastar pake selai stroberi boleh gak? Dia jawab dengan cepat dan singkat. Boleh, jangan lupa kirim setoples.
Sms saya berikutnya, saya bilang, gak pake toples, gak boleh, pakenya kaleng. Ima pake kaleng Kong Guan atau Monde? Ima bales kemudian, terserah, orang stress, saya ngantuk mau tidur. Daaaah. Untuk menghormatinya saya bales dengan sms, Ima terimakasih atas partisipasinya. Selamt malam, selamat lebaran.
Selesailah kerjaan sms malem ini, saya sudah ngantuk dan males mencari korban baru, jatah sms masih banyak, tapi waktunya udah abis, jadi saya pergi ke tempat temen-temen saya berangkat duluan, pergi ke tidur. Terimakasih saya ucapkan sebelum menutup mata, terimakasih kepada Inan, Keke, dan Ima yang telah membantu saya menghabiskan bonus sms saya. Lalu saya pun tidur untuk bangun besok pagi, lalu kuliah, lalu mungkin bertemu mereka yang saya sms tadi.


Ali Buschen.
23 september 2008/23 ramadhan 1429
Jam 12.07